Cerita dari Tapal Batas Kurnia Hadinata Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan lidah api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Seekor elang lembah yang kedinginan berusaha menyelipkan tubuhnya di sebuah lubang kayu, menghindar dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Sesekali terdengar lolongan anjing hutan yang semakin menggigilkan, semakin menyesakkan bulu roma dan menebarkan hawa petakut. Angin dingin yang membekukan rabu, menusuk-nusuk ke tulang berhembus menyesakkan dahan-dahan. Hutan ini begitu perawan, gelap sepi, di dasar lembah yang paling dalam. Hanya gemericik air jatuh di bibir tebing, hujan yang mengibas-ngibas di ujung-ujung kayu memaksa semuanya temaram dalam nuansa dingin. Hanya bunyi binatang penggerek atau kecoak tanah yang merengkuh di telinga. Lembah ini paling dalam, di perut bumi Cendrawasih, tersunyi tak tersentuh sama sekali. Letaknya entah di distrik atau kabupaten apa, kurang jelas karena kabut yang memangkas jarak pandang. Mungkin arah paling timur negeri ini, ratusan kilometer dari Jayapura. Mungkin juga tidak terlalu jauh dari perbatasan Papua Nugini. Di situlah aku kini tersungkur tak berdaya. Kulihat tubuhku remuk, tak tentu bentuk, beberapa tulang lenganku tersumbur keluar, darahku telah membeku. Kepalaku, astaga wajahku sungguh hancur. Hampir seluruh bagian kepalaku tak dapat dikenali, tak utuh lagi mungkin terhempas ke benda keras. Ya semua serba berantakan, serba hancur, puing demi puing berserakan, sebahagian tergantung di dahan-dahan kayu. Hanya ada baling-baling panjang yang ringsek dan tergolek di tanah satu-satunya menjadi tanda. Ya, helikopter yang kami naiki dari Jayapura itu, helikopter milik korps TNI AU jenis super puma SA330 tak berdaya melawan kabut kelam dan ganasnya cuaca di pedalaman Papua ini. Setelah didera kabut pekat dan terjangan angin badai, heli bernomor registrasi H 3375 yang sudah tua itu oleng dan hilang kendali. Pilot masih sempat melakukan kontak beberapa waktu yang lalu dengan Jayapura namun sesudah itu sama sekali terputus. Kurnia Hadinat2 a Pilot dan copilot heli, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Lettu Penerbang Guntur, sudah tak bernyawa. Keadaan tubuh mereka lebih parah dari aku. Hery tubuhnya tergeletak dengan posisi tertelungkup. Kepalanya remuk dan sebuah besi panjang menancap di dadanya hingga tembus ke belakang. Lebih parah lagi Guntur. Tubuhnya nyaris sama sekali tidak dapat dikenali, terpotong, terpisah-pisah akibat diterjang baling-baling heli. Ah, sungguh aku tak bisa menceritakan keadaannya, sangat mengenaskan. Ya aku ingat sewaktu heli oleng tubuhnya terbanting ke luar dan langsung ditebas baling-baling. Sementara dua lagi temanku sama-sama penempatan di pos pengintaian di Arso, Serka Bambang dan Serka Dodi, mayat mereka tergantung di atas pohon dengan kondisi memiriskan dan tak lagi bernyawa. Hanya bunyi gemerisik suara radio HT yang mematahkan daun-daun. Kadang suara itu menyatu dengan gemericik tetesan hujan dan semilir angin yang tersasar di sela-sela kayu. Dari jauh tubuhku seperti melayang, menuju ke rumahku. Waktu seperti diputar balik, aku kembali ke masa silam. Aku melihat ayah dan ibuku tengah menggendongku. Aku ditimangnya, mereka bahagia akan kelahiranku. Tak terasa tiba-tiba saja aku sudah berada di asrama Secabaku dulu di Padangpanjang. Aku bercanda gurau dengan sahabatku si Letnan Samson alias Ramses dari Medan itu. Tak lama sesudah itu gelap bertahta. Tiba-tiba saja aku terbangun dan mendapati Ramses tengah duduk di sampingku di tapal batas ini. *** Penghujung tahun yang sendu, hujan mengelupas dari langit begitu menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang dingin dan sembab semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung lalu berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Hujan membuat garis-garis langit seperti renda-renda putih yang semakin kabur dari ujung timur. Garis-garis air itu kadang berubah haluan dibawa angin yang semakin terpukul. Ya, hujan yang menaburkan harapan kehidupan dan kelembapan di hutan tropikal, berbagai macam bibit kehidupan jatuh dari langit kelam yang pekat kelabu. Hujan memelihara bibit demi bibit itu untuk hidup dan menebarkannya di pesona bumi hijau di wilayah pulau Papua ini, di Keerom wilayah paling ujung NKRI ini. Hujan juga menyapa lembut setiap permukaan bumi. Dari sejauh mata memandang hanya pohon-pohon raksasa yang Cerita dari Tapal Batas 3 tiada pernah kujumpai di tanah asalku Sumatera paling barat. Di sini, di hutan ini, si wilayah timur ini, pohon-pohon itu menjadi hantu legam, diam dan seperti merenung dalam kesepian. Di sini semuanya seperti membeku, menyembul ke angkasa terperangah membelah langit bagai tiang-tiang dari perut bumi yang menjulang menunjuk langit. Satu setengah bulan yang lalu aku dihempaskan perjalanan nasib ke sini. Ya hitungan waktu, tak terasa sudah memasuki bulan kedua aku di sini, di ujung wilayah tapal batas di distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom Papua, antara NKRI dengan wilayah negara Papua Nugini. Di sini orang-orangnya fasih berbahasa Nugini, berbahasa Indonesia, atau bahasa suku setempat. Kadang sulit membedakan mana orang Indonesia atau yang mana orang Nugini. Semuanya serba campur aduk, inikah kehidupan tapal batas itu? Jauh dari hiruk-pikuk kota raya. Warga sekitar perbatasan sering melintas tanpa dokumen. Itu sudah perjalanan tradisi, mereka tidak pernah bawa surat-surat. Batas sebuah negara kadang tidak begitu penting untuk melangsungkan interaksi kehidupan yang telah berjalan semenjak leluhur mereka. Mereka tinggal mendiami beberapa daerah berdataran tinggi. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah. Adat-istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu di hutan di sekeliling lingkungannya. Sebahagian mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang dataran rendah aliran sungai. Kadang kehidupan penduduk yang alami itu seperti mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali belum terjamah oleh pembangunan apalagi kepentingan politis. Mereka masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan, hidup sederhana dan menggantungkan diri pada alam, ironis memang. Jika dibandingkan dengan Indonesia wilayah barat jelas pembangunan di sini, di pulau matahari terbit ini begitu berjalan pelan. Padahal pulau ini sangat memiliki kekayaan alam yang tak terkira dan eksotik. Aku sudah tiga hari mengisi pos pengintaian tapal batas ini di distrik Arso. Pos ini hanya ditempati oleh beberapa orang prajurit TNI saja. Sebelumnya, aku menduduki pos di wilayah distrik Senggi. Jumlah Kurnia Hadinat4 a penduduk di kabupaten ini tersebar sedikitnya di 50 kampung dengan jumlah penduduk lebih dari 50 ribu jiwa. Memang prajurit TNI yang bertugas sengaja digilir dan ditukar sebagai salah satu cara mengusir kebosanan sekaligus untuk melakukan tugas rutin kami yaitu patroli dan memastikan tidak terjadi apa-apa di wilayah tugas kami. Inilah kehidupanku, jauh dari kesan kemewahan, jauh dari kesenangan hidup dan idealnya hidup zaman sekarang. Hidup kulalui seakan sebagai orang yang tengah bersemedi di kesunyian hutan. Bertemankan malam-malam yang dingin, tiada makanan enak di sini, cuma santapan sederhana, itu tidak lebih. Tiada hal yang berbau kemewahan di sini, semua serba apa adanya. Hidup dalam bayang-bayang kewaspadaan dan rasa kekuatiran. Di sini antara hidup dan mati tipis sekali bedanya. Kadang kita bisa aman sewaktu-waktu, kadang bahaya mengancam keadaan bisa berubah buruk. Beberapa waktu lalu pos di Senggi diserang oleh beberapa orang separatis bersenjata. Tiga prajurit TNI gugur dalam serangan tiba-tiba di pagi buta itu. Padahal mereka baru ditempatkan beberapa hari. Di sinilah hidup memang harus dijalani, meski terlihat aman, namun sewaktu-waktu bisa berbalik menjadi sangat berbahaya. Sebagai TNI, sebagai prajurit mental kami memang sudah dilatih dan disiapkan untuk terjun dengan medan dan kondisi apa pun. Inilah kehidupan seorang tentara, menjadi prajurit TNI, kehidupan di tapal batas. Inikah cita-citaku? Jujur saja, mungkin tidak. Awalnya menjadi tentara hanyalah karena aku ingin memenuhi keinginan dan cuma membahagiakan ayahku saja. Ayahku sangat ingin aku menjadi tentara, dan untuk itu dia mau melakukan apa pun. Seiring perjalanan waktu kini menjadi tentara sudah menjadi hidupku, dan aku harus mencintai profesi ini dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Entahlah kadang beragam kebimbangan terus mendera, tapi itu semua sudah aku bulatkan, karena di awal mengenakan seragam ini, hati ini sudah bertekad siap mati membela tanah Pertiwi. Lebih baik pulang membawa nama dari pada gagal dalam menjalankan tugas. Inilah panggilan nuraniku sekarang menjadi abdi negara, menjadi pahlawan kebanggaan bagi ayahku, bagi keluargaku atau mungkin bagi anak dan istriku kelak. Kadang kalau dipikir dengan mengenyampingkan rasa patriot dan rasa cinta akan tanah air ini, rasa-rasanya tidak impas apa yang kudapat sekarang dengan pengorbanan yang sudah diperbuat oleh ayah dan Cerita dari Tapal Batas 5 ibuku di kampung. Ya demi melihat anak semata wayangnya gagah berpakaian loreng, memakai baret apa pun pasti ditebusnya. Itulah ayahku, lelaki tegas si cemara angin itu. Ya, memajang foto anak mereka yang tengah berpakaian prajurit di ruang tamu rumah adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi seorang ayah. Kebahagiaan itu jelas tidak bisa dibanding-bandingkan dengan harta berlimpah sekalipun. Walau pada akhirnya mereka harus terpaksa berpisah dengan anaknya itu bertahun-tahun lamanya, karena tugas anaknya kepada negara. Walau mereka harus siap sewaktu-waktu anaknya itu gugur sebagai syahid dalam melaksanakan tugas. Aku masih ingat, tiga hektar kebun kopi milik ayah berikut sebuah sepeda motor Honda CB keluaran akhir 70-an ludes terjual. Ya, kebun kopi yang sangat produktif berbuah itu beserta motor kesayangan ayah terpaksa dijual demi memasukkanku ke sekolah calon tentara di kota Padangpanjang. Awalnya aku menolak karena aku tahu dan sadar ayah mempertaruhkan segalanya asal aku bisa masuk sekolah pendidikan tentara itu. Aku berusaha membujuk ayah untuk mengurungkan niatnya agar tidak memberikan uang pelicin. “Sudahlah, Buyung, sekarang ini sudah jarang orang masuk Secatam itu tanpa uang pelicin, mumpung ini ada orang yang membantumu, Yung. Ayah ikhlas, dan hutang ayah sudah lunas kelak jika melihat kau gagah berpakaian loreng itu,” ujarnya waktu itu. “Tapi, Yah, aku yakin aku bisa lulus tanpa pakai uang seperti itu. Jumlahnya tidak sedikit, Yah. Lebih baik untuk yang lain saja, untuk menjadi orang sukses itu tidak musti jadi tentara, Yah,” aku lagi-lagi mencoba merajuk membujuk ayah. “Pokoknya Ayah ingin kamu menjadi tentara. Kamu harus bisa membanggakan keluarga, membanggakan almarhum kakekmu, karena kamulah anak laki-laki satu-satunya yang Ayah miliki,” balas ayah. Kalau sudah begitu aku pasti menurut pada ayah, sebab aku tahu persis tabiat ayahku: ia orang yang teguh pendirian. Akhirnya, berkat jasa seorang kenalan ayah itulah aku dapat diterima. Aku memasuki pendidikan di Secaba itu. Ayahku tersenyum bangga dengan keberhasilanku itu. Tak tanggung-tanggung, demi kebahagiaannya itu ayah menggelar syukuran yang cukup besar. Semua diundang, mulai kerabat, handai-taulan, orang terkemuka di kampung, sampai anak yatim. Aku tidak bisa menghalangi niat ayah. Biarlah ia menikmati kebahagiaannya sendiri. Itulah kebahagiaan seorang ayah Kurnia Hadinat6 a mungkin, kebahagiaan yang tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Sesekali dalam masa pendidikan di barak aku masih sempat pulang kampung. Ayah membuat aturan: kalau pulang aku harus mengenakan pakaian seragamku. Kadang aku tertawa geli dibuatnya. Ah, perangai ayah kadang ada-ada saja. Tapi sudahlah, nyatanya aku bahagia juga jika ayahku senang. Ia akan menepuk-nepuk pundakku dan tersenyum haru merengkuhku. Rasanya terbayar sudah jerihnya mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk memasukkanku menjadi tentara. “Kau tahu, Buyung, ayahku, kakekmu, pasti akan tenang di alam sana, apalagi kalau tahu cucunya sekarang sudah melanjutkan jalan hidupnya, menjadi prajurit pembela merah putih, pembela tanah Pertiwi. Aku berjanji padanya, Yung, kalau aku punya putra aku akan menjadikannya tentara. Hutang janjiku lunas sekarang, Yung. Arwah kakekmu sebagai syahid pejuang kemerdekaan pasti akan tenang,” ungkapnya dengan serak penuh nada kebanggaan bercampur haru. Aku tahu ayahku; aku tahu sejarah keluargaku. Ayahku adalah seorang veteran pejuang, yang bersama kakekku ikut berjuang membela bangsa ini mengusir penjajah. Kakekku gugur dalam peperangan di kota Padang. Dia menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa peluru menembus dada kirinya. Ayah tak pernah lelah menceritakan peristiwa heroik itu setiap menjelang aku mau tidur. Mungkin cerita sejarah ayah itu juga yang menguatkan pilihanku untuk menjadi tentara. Tahun-tahun berikutnya aku dilarutkan dengan masa tugasku. Aku mulai jarang pulang. Tahun pertama aku ditugaskan di sebuah pulau terujung di pulau Sumatera, daerah konflik, yaitu Aceh. Dua tahun aku sempat pulang dan kembali mendapatkan tugas di Mentawai. Tidak selang beberapa lama aku ditarik dan dikirim menjaga perbatasan di kawasan Nusa Tenggara Timur dan selanjutnya sampai di penghujung timur tanah Pertiwi ini, pulau Papua, atau provinsi Irian Jaya dulu namanya di zaman Orba. “Berangkatlah, Buyung. Aku bangga padamu. Jagalah keutuhan bangsa ini. Aku ikhlas, Nak, jika sewaktu-waktu hanya namamu yang pulang.” Hanya itulah kata-kata ayah yang bisa ia ucapkan. Sama sekali ia tidak menangis. Ia sangat tegar dan sama sekali tiada guratan kesedihan dari wajahnya itu. Berbeda dengan ibu yang tak kuasa menahan tangisnya. Itulah terakhir kali aku merengkuh tubuh paruh baya, semenjak itu aku hanya mendengar suaranya. Terakhir empat bulan yang silam Cerita dari Tapal Batas 7 aku kontak dengan ayah di kota Jayapura. Waktu itu ia sempat menanyakan keinginanku untuk menikah. Oh, menikah, ingin sekali aku akan hal itu, menghadiahkan orang tua itu seorang menantu dan sosok jabang bayi yang kelak akan ia timang-timang dan memanggilnya kakek. Tapi lagi-lagi batinku kecut. Gadis mana yang akan tahan memiliki suami seperti aku ini, tiap sebentar ditinggal pergi suaminya, bisa berbulan bahkan bertahun-tahun tak bertemu suaminya. Mungkin juga harus siap-siap menjadi janda jika sewaktu-waktu suaminya gugur dalam menjalankan tugas. Lihatlah si Ramses, temanku dari Medan. Baru seminggu menikah dia harus meninggalkan istrinya, bahkan sudah berumur dua tahun anaknya belum pernah sekali pun ia menggendongnya, cuma mendapatkan kiriman foto saja. Ya inilah kehidupan tentara itu, pengabdian lebih utama. Ah, aku belum sanggup menyisakan kerinduan kepada gadis mana pun. Biarlah nanti aku pertimbangkan hal itu, sebab bila sudah tiba waktunya tentu aku akan menikah dan mewujudkan mimpi itu. *** Sekarang di sinilah aku, bergabung sebagai prajurit TNI di bawah Kodam XVII Cendrawasih, di perut alam pulau Papua ini, bergumul dengan sepi dan dinginnya pelukan alam hutan tropis. Kadang kehidupan di tapal batas ini sama sekali jauh dari keinginan duniawi dan gelimangan harta. Tuan tahu berapa gaji prajurit TNI berpangkat rendah di negeri ini? Ya, mungkin terlalu kecil bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan, atau dibandingkan dengan negara tetangga kita. Inilah dilemanya, pemerintah kita menuntut profesionalisme TNI, namun di sisi lain pemerintah masih minim dalam meningkatkan kesejahteraan hidup prajuritnya. Lihat saja anggaran pembelian alat keamanan dan pemeliharaan. Sangat minim. Jelas, peralatan TNI sangat di bawah standar, ketinggalan zaman dan berusia lanjut. Armada pesawat TNI, misalnya, jauh dari standar modern, sudah tua. Tidak mengherankan kalau banyak peristiwa kecelakaan pesawat militer di negeri ini, dan menelan korban yang tidak sedikit setiap tahun. Berapa banyak prajurit yang gugur sia-sia? Tidak mengherankan pula jika banyak oknum TNI yang berprofesi ganda menjadi tentara bayaran, bekingan pejabat dan pengusaha, sampai menjadi bandit kelas kakap dan penjahat negara yang jelas-jelas melanggar kode etik profesi bahkan menanggalkan janji yang terpatri sewaktu pendidikan dulu. Ya, itulah hidup. Kadang silau harta dan kemewahan Kurnia Hadinat8 a yang ditawarkan dunia bisa memutarbalikkan pemikiran siapa pun. Tapi sudahlah, apa peduliku. Lagipula aku hanyalah tentara, ya prajurit yang berusaha menjalankan tugasku sebaik mungkin. “Sepertinya ada sesuatu yang tengah kaupikirkan, Yung?” Tibatiba saja suara Ramses datang membuyarkan pemikiranku. Ya, dia bernama Ramses Situmorang, sahabatku. Aku bertemu lagi dengannya di sini, satu penempatan tugas di tapal batas ini. Sudah lama juga kami tidak bertemu. Dia teman seangkatanku di Secaba dulu. Semenjak selesai pendidikan kami terpisah karena berbeda tempat tugas, tetapi secara kebetulan kami bertemu lagi di tanah Cendrawasih ini. Ya, secara kebetulan mungkin. Keakraban dan jalinan persahabatan yang dulu sempat terpisah kini kembali akrab dan terjalin hangat. “Ah tidak, cuma aku teringat saja dengan ayahku di kampung, Ses,” lirihku lagi. “Sudahlah, Buyung, memang kadang kita tidak bisa mengelak dari rasa rindu itu, manusiawi memang.” Ia bangkit menyerahkan secangkir kopi panas dan kembali ke ruang pengintaian. Aku beranjak dari dudukku dan menghampirinya. Mataku menyapu pohon-pohon raksasa hijau yang mengerubungi setiap mata memandang. Dari jauh mendung semakin memaksa dingin menusuk-nusuk dinding demi dinding menara pengintai ini. Bendera merah putih itu semakin berkibar megah dan berwibawa diterpa angin dan rinai yang makin lama makin bercucuran. “Banyak alasan yang memaksaku jadi tentara, Yung. Salah satunya mungkin karena cintaku pada tanah Pertiwi ini.” “Meski kadang bahaya menghantam, meski kadang jauh dari orang-orang yang kita sayangi, meski kadang hidup terasing di wilayah tapal batas ini, dan meski… apa lagi?” “Ya, meski semuanya harus berakhir di ujung peluru dan kita hanya dapat membayangkan satu per satu wajah orang-orang yang kita cintai, sebelum semuanya menjadi kabur dan gelap. Tiba-tiba saja orang yang kita sayangi itu hanya mengenang nama kita, atau paling mujur melihat dan menyaksikan prosesi pemakaman kita. Sementara, kita sudah terbujur kaku di peti dengan balutan sang merah putih. Orangorang melayat menawarkan wajah kesedihan dan beberapa dentuman senapan dan derap sepatu laras menyertai detik-detik kepergian kita ke tempat peristirahatan terakhir. Sesudah itu kita tamat, berakhir, tak Cerita dari Tapal Batas 9 berarti apa-apa dan tentu tidak lagi diingat dan dicatat dalam sejarah,” ujarku. Pandangannya menerawang jauh ke arah ujung langit. Mungkin kata-kataku tadi menyentakkan nuraninya. Di hatinya masih terpatri kenangan tiga tahun silam. Ya, teringat dengan istrinya yang waktu itu baru saja dinikahinya. Belum genap seminggu bergaul, dengan sangat terpaksa ia harus meninggalkan istrinya itu, untuk kembali menjalankan tugas, lebih cepat dari permintaan cutinya. Sebab ada tugas mendadak, ia kembali dipanggil masuk barak. Hingga kini ia hanya memendam kerinduan yang mendalam terhadap istrinya. Terakhir ia sempat ke Medan pulang kampung menengok istrinya itu yang kini sudah tinggal di rumah ibunya. Ya, cuma sekali itu dalam kurun tiga tahun terakhir ini, sebab tugas demi tugas terus memanggilnya. “Istriku sehat, ia senang mendengar kabarku. Wah aku sudah jadi ayah, Yung. Tak terasa sudah tua juga kita sebentar lagi. Tak terasa, sudah kakek-kakek saja kita. Makanya kau cepat-cepat menikah, Buyung, sebelum kau terlambat, nanti tua kau tak ada lagi gadis yang mau he… he…,” tuturnya dengan logat Medan kental yang selalu menyapaku ketika ia menceritakan kabar istrinya kepadaku. Aku kadang hanya senyum kecil membalasnya. Setidaknya di tempat tugas ini aku masih memiliki seorang sahabat. Mungkin ia beruntung memiliki istri yang memahami kondisi dan pekerjaan suaminya. Memang harus begitu menjadi istri seorang tentara. Apalagi masa-masa perang dan keamanan negara terancam, sang istri pun harus siap dengan risiko apa pun. Doa restu dan dukungan moral istri adalah sebuah kekuatan yang tak terkira kuatnya membantu tegarnya semangat sang suami dalam menjalankan tugas negara. Cerita tentang Ramses, aku teringat dengannya di Secaba dulu. Dia adalah temanku sesama pendidikan dulu. Aku satu kompi dengannya, malahan aku satu kamar dengannya. Ia mudah bergaul dan aku sangat akrab dengannya. Senasib sepenanggungan. Ia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Di barak aku seperti mendapatkan seorang kakak laki-laki yang dulu selalu kuimpikan. Jika ada kesempatan, aku selalu mengajaknya pulang ke kampung halamanku di Bukittinggi, karena jarak Padangpanjang dengan kampungku tidak terlalu jauh. Ia juga akrab dengan keluargaku, dengan ayahku. Ia termasuk tentara yang disiplin. Di antara kami ia yang paling kuat. Tubuhnya tegap dan tinggi kekar. Segala lomba adu kekuatan Kurnia Hadinat10 a stamina di barak —mulai adu panco, push-up, sampai lomba lari— ia nomor satu. Tak ada yang mampu mengalahkannya. Kami sering memanggilnya Letnan Samson. Tapi masalah cewek dia paling apes. Setiap kali dia naksir cewek, cintanya selalu kandas. Dalam pertemanan ia termasuk orang yang sangat setia dengan yang namanya kawan. Pernah suatu kali kami sama-sama jatuh cinta dengan seorang perawat di rumah sakit tentara. Karena ia lebih menghargai pertemanan ia malah mengalah dan melepaskan sang perawat itu menjadi pacarku. Aku bangga dengannya, punya sahabat dan saudara seperti Ramses. Semenjak tamat Secaba kami memang tidak lagi bersama-sama, cuma kebetulan kami disatukan kembali dalam tugas di tapal batas ini. Jadilah kami senasib sepenanggungan sambil reunian. Bedanya cuma ia lebih laku dibandingkan denganku, ia sudah beristri dan malah sudah menjadi ayah, sementara aku masih betah menjadi lajang. *** Cerita itu turun seperti air hujan yang tercurah dari langit dan terus mengalir menuju ceruk, kanal dan sungai-sungai di tepian bukit menuju muara. Daun yang gugur berganti dengan tunas-tunas baru yang mendesak. Musim hujan yang sembab berganti dengan kemarau yang kering. Siklus hidup terus berjalan seperti roda yang berputar. Waktu demi waktu telah kulalui di setiap tempat tugas dengan penuh rasa tanggung jawab meski jemu kadang meraja. Hari-hari berganti, siang menjadi malam, pagi menjelma, musim demi musim bergulir, seperti air mengalir tetapi pemandangan yang kulihat masih tetap sama. Rutinitas yang aku lalui masih sama, tak ada yang berubah. Kehidupanku sebagai prajurit di tapal batas tak jauh berubah. Masih sama seperti tahun sebelumnya. Yang berubah mungkin aku tak lagi bersama Ramses, temanku itu, saudaraku itu, si Letnan Samson. Ia sudah tak lagi satu tim denganku, tidak lagi bersamaku di sini di pos jaga ini. Setengah tahun yang lalu ia ditarik ke sebuah pos jaga baru di wilayah timur laut. Lebih jauh ke arah timur provinsi ini. Aku sudah tidak lagi berkomunikasi dengannya; aku sudah kehilangan kontak dengannya. Tetapi itu semua sudah aturan. Lagi aku tegaskan, inilah kehidupan tapal batas. Sewaktuwaktu keadaan dapat berubah. Kemarin aku masih dapat berkumpul dengan sahabat lama tetapi mungkin besok kami sudah digilirkan, berpisah bahkan tak bertemu lagi. Aku masih tetap di pos jaga ini. Cerita dari Tapal Batas 11 Memasuki bulan ketiga keadaan cukup berubah. Ancaman wilayah tapal batas mulai meningkat. Untuk itu kami mesti meningkatkan penjagaan dan kewaspadaan. Ini bermula dari semakin memanasnya situasi di beberapa tempat di Papua. Aktivitas orang-orang bersenjata tak dikenal mulai berani menyerang kawasan vital milik pemerintah. Beberapa waktu yang lalu terjadi penembakan demi penembakan terhadap tim penjaga aset pemerintah di Papua. Belum dipastikan pihak mana yang bertanggung jawab. Disinyalir pihak Tentara Pembebasan Papua Barat (TPN) atau pihak OPM. Belum lagi ulah residivis bersenjata yang memanfaatkan masyarakat pribumi. Mereka mengeruk untung di tapal berbatasan. Mereka kadang melakukan penyelundupan dan perdagangan gelap. Persoalan lebih berat lagi, ada sinyalemen yang mengatakan di balik aksi itu semua ada oknum tentara yang membeking. Lagi-lagi rumor tidak sedap itu aku dengar. Beberapa minggu yang lalu pos jaga TNI di distrik Skamto kembali diserang oleh OPM. Meski tak ada korban jatuh di pihak TNI, ini menandakan aktivitas kelompok bersenjata itu sudah kembali berani main petak umpet dengan TNI. Desember yang sembab di penghujung tahun. Lagi kuncupkuncup hujan menyumbul di antara ceruk-ceruk kabut langit kelam Papua. Dingin dan sembab bertahta di mana-mana. Pohon-pohon tinggi menjulang di kaki-kaki bukit dan jurang-jurang yang dalam. Kabut menyelinap dalam-dalam. Kami satu regu baru saja melakukan patroli. Kami melewati sebuah sungai dan terus menyusuri pinggirannya dengan senjata laras di tangan, dengan sikap siaga kami terus bergerak. Beberapa kali kami berpapasan dengan penduduk pribumi. Tidak ada hal-hal yang mencurigakan dari mereka. Mereka bukan OPM atau TPN. Kali ini ada hal ganjil rasanya, ya ganjil bagiku karena memang sama sekali aku tak mendapati Ramses di sampingku. Aku merasa kehilangan dia, bagaimana kabarnya, entahlah. Kami melewati sebuah tebing yang curam, tebing itu kuyakini merupakan tapal batas dengan negara tetangga Papua Nugini. Dengan sangat hati-hati kami menyelidiki keadaan sekitar masih sepi, hanya suara gemericik air sungai. Aku selaku pimpinan regu memerintahkan Serka Bambang untuk mengamati suasana dari atas puncak tebing. Entah mengapa tiba-tiba saja ada hal aneh yang aku rasakan, bukan karena tidak ada Ramses di reguku tetapi sebuah hal lain. Naluri Kurnia Hadinat12 a prajuritku menuntunku untuk waspada. Aku memberikan aba-aba agar semua anggota regu yang kupimpin tetap dalam kondisi waspada. Benar saja di atas tebing ini kami memperhatikan gerak-gerik beberapa warga pribumi, senjata mereka lengkap. Kami yakin mereka bukanlah kelompok sembarangan, sebab di antara mereka juga terdapat beberapa orang berbadan tegap dan memakai sepatu laras dan berseragam layaknya tentara dan terlatih. Tapi siapa mereka, belum dapat kupastikan apakah dari pihak TNI atau kelompok separatis bersenjata. Dari atas tebing kami masih terus memperhatikan dengan sangat hatihati. Jelas mereka tengah melakukan sesuatu, tapi apa, belum bisa kami pastikan. Butuh jarak lebih dekat lagi agar kami dapat mengamati gerakgerik mereka dengan leluasa. “Bang, kamu arah samping, sisir sebelah selatan. Aku dan yang lain menyisir sebelah utara, dan kamu Rob, tetap berjaga dari atas sini. Lindungi kami. Kita akan amati apa yang mereka lakukan,” tegasku setengah berbisik. Semuanya paham akan maksudku. Kami menyisir pelan-pelan, menyelinap di antara semak belukar, mendekat ke arah kelompok yang mencurigakan itu. Darahku berdegup kencang. Meski hal semacam ini sering kualami, namun aksi pengintaian kali ini sungguh sangat mencemaskan dan dramatik. Sebab, aku tahu hal ini berisiko tinggi dengan terjadinya kontak senjata. Ternyata mereka berasal dari kelompok bersenjata, tapi di antara mereka ada yang mengenakan atribut prajurit TNI. Siapa mereka, dan apa yang mereka lakukan? Belum hilang rasa penasaranku, tiba-tiba bunyi tembakan memecah keheningan hutan ini. Aku berlindung dan memerintahkan anggotaku untuk berlindung. Aku yakin keberadaan kami sudah diketahui oleh mereka. Rentetan tembakan kembali menyalak, aku membalas. Beberapa yang lain juga membalas. Lama terjadi kontak senjata. Posisi kami di atas tebing; mereka di bawah. Jelas kami sangat diuntungkan. Ditambah dengan latihan perang yang kami miliki, dengan mudah kami dapat memukul mundur serangan demi serangan dari kelompok itu. Beberapa anggota kelompok itu tertembak. Beberapa orang terkapar tak bernyawa, luka tembak di kepala. Satu orang lagi masih bernyawa sementara dua orang anggota berhasil kabur. Keberuntungan berpihak kepada reguku. Sama sekali tak ada anggota reguku yang terluka. Kami menyisiri keadaan sekitar untuk memastikan aman, mengumpulkan korban. *** Cerita dari Tapal Batas 13 Aku tak menyangka, sungguh aku tak menduga temanku Ramses, sahabatku si Letnan Samsonku itu, orang yang aku banggakan, orang yang menyulut semangatku menjadi TNI, ternyata kini terlibat dalam aksi yang memalukan ini. Ia yang kini berada di depanku dengan satu luka tembak di kakinya. Ia ternyata diam-diam terlibat sebagai anggota TNI yang membeking aksi perdagangan gelap ini. “Munafik, jadi selama ini kata-katamu kepadaku hanya kedok semata,” ujarku. Ia tak berkata lagi. Pandangannya jauh terhunus ke langit sesak. Hujan masih menggelegar. Sore menjelang gelap itu semua begitu lembayung dalam lembab. Entah rasa apa yang muncul dan bergejolak di benakku. Ia yang kini terkapar di hadapanku adalah lawanku yang juga sahabatku. “Kenapa, Ram, kenapa kaulakukan semua ini? Kenapa?” Aku mengangkat kerah bajunya, aku emosi, aku kalut, aku marah padanya. Ia tersenyum kecut. “Kau tahu, Yung, aku tak tahan lagi, Yung. Aku bosan hidup bersemedi dengan segala kesengsaraan dan sama sekali aku tak mendapatkan apa-apa. Ah persetan dengan pengabdian. Hidup tetap tak punya apa-apa. Gaji kecil itu yang kuharapkan, aku muak aku bosan,” ujarnya dengan nafas sesak. “Kini kau bukan sahabatku, Ramses. Aku baru sadar ternyata selama ini kata-katamu padaku hanyalah dusta semata.” “Alah persetan dengan janji di barak dulu, persetan dengan segalanya, dengan tanah Pertiwi ini. Apa lagi yang kita harapkan, Yung? Menjadi tentara dengan gaji kecil hidup sengsara di tapal batas ini? Ingat, Yung, istri kita, anak kita, keluarga kita butuh uang, butuh biaya. Jika cuma mengandalkan gaji seorang tentara mana mungkin kita bisa memenuhinya semua. “Hehe… hehe… di tapal batas ini memangnya ada sahabat, Yung? Dasar prajurit idealis kere kau, Yung,” ujarnya mengejek. Aku marah, aku panas dengan perkataan Ramses tadi, aku tampar ia dua kali. Ia sama sekali tak membalasnya. Pipinya pecah darah segar membasahi mulutnya, lalu bercampur dengan air hujan membasahi bajunya. Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi dalam kondisi seperti ini, saling berhadapan dengan senjata laras berhadapan. Pilu, hancur hatiku hilang seorang sahabat di hatiku. Aku betul-betul telah dikhianati oleh seorang sahabat Kurnia Hadinat14 a yang nyata-nyata dulu aku kagumi. Aku sadar dari peristiwa itu, kehidupan di tapal batas memang bisa memutarbalikkan semua yang ada. Termasuk arah dan jalan pikiran seorang prajurit. *** Peristiwa itu telah terjadi dua tahun silam. Hujan demi hujan di tapal batas telah menghanyutkan segala kenangan yang baik dan buruk. Yang baik menjadi kenangan, yang buruk biarlah tersimpan atau terkubur dalam-dalam, tidak lagi untuk diingat. Semenjak peristiwa itu aku tidak lagi mendengar kabar dari sahabatku itu yang sudah aku anggap sebagai musuhku. Ia tidak hanya menjadi pengkhianat dari persahabatanku, tetapi juga telah berkhianat atas negara dan bangsa ini. Harusnya ia kubunuh saja dulu sewaktu di hutan pinggir sungai perbatasan dulu. Akan tetapi nyatanya aku tak mampu. Aku tak tega melihat bayangan istrinya dan anaknya yang masih mengharapkannya. Aku dan anggota reguku menyimpan rahasia tentang kejadian baku tembak itu. Membungkus rahasia peristiwa baku tembak itu dalamdalam di palung hati kami masing-masing. Dalam hati aku berniat akan melupakan Ramses dalam hidupku. Aku tak mau lagi mengingat si pengkhianat itu dalam hidupku. Semenjak itu Ramses pun tak lagi aku dengar kabarnya. Ia sudah menghilang seperti ditelan bumi. Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan lidah api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hebat menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Barangkali ini misi terakhirku di tanah Cendrawasih ini. Sesudah keadaan aman aku berencana akan meminta izin untuk menjenguk keluargaku, ayah dan ibuku. Aku rindu mereka. Sudah beberapa hari aku di kota Jayapura. Keadaan sudah dapat dikatakan aman. Aktivitas gangguan keamanan sudah tidak sering lagi terjadi. Meskipun ada letup-letup kecil namun sudah dapat diredam oleh TNI dibantu oleh Polda setempat. Siang menjelang sore itu, itulah misi terakhirku sebelum aku cuti pulang menuju kampung halaman. Misi patroli udara dan menjemput beberapa personil TNI di beberapa distrik di kabupaten Keerom sekaligus mengantarkan beberapa peralatan radar dan alat komunikasi yang sudah diperbaiki untuk beberapa pos jaga. Dengan menggunakan heli TNI AU jenis super puma SA330 kami berangkat dari landasan terbang milik TNI di Jayapura. Heli yang dikendalikan oleh pilot dan copilot, masing-masing Mayor Penerbang Hery dan Lettu Penerbang Cerita dari Tapal Batas 15 Guntur, terbang dengan kondisi normal. Cuaca sedikit mendung tetapi tidak mengisyaratkan akan memburuk. Selain aku, memang ada beberapa awak yaitu teknisi alat radio, sementara tugasku memastikan pengiriman barang sampai tepat waktu sekaligus mengangkut beberapa personil untuk dibawa ke Jayapura. Entah mengapa di perjalanan tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku, mimpi yang sangat menakutkan, mimpi tengah menaiki heli yang sama dan mengalami kecelakaan. Tidak hanya itu. Aku juga teringat dengan kata-kata Ramses bahwa dalam kurun waktu 18 tahun terakhir sudah tercatat 45 pesawat TNI yang jatuh. Ah, lagi-lagi apa peduliku terhadap si pengkhianat itu. Aku mencoba mengelak dari pemikiran dan petakut ini. Bunyi mesin heli meraung-raung. Beberapa saat heli yang dikemudikan mulai sedikit oleng. Hujan yang tadi gerimis tiba-tiba berubah menjadi lebat. Kabut gelap dan angin ribut memaksa heli terbang dengan kondisi tak stabil. Ada rasa kuatir menyelinap di hatiku paling dalam. Pilot dan copilot masih berusaha menghubungi landasan dan markas, tapi lagi-lagi hubungan terputus. Tiba-tiba kepanikan terjadi. Mesin heli mendadak mati. Di ketinggian ini jelas sebuah hal yang sangat menakutkan telah terjadi. Tubuh heli seperti di sedot alam. Inilah gaya gravitasi itu. Kami ditarik kuat dan akan jatuh terhempas. Prakkkkk.... Tubuh heli gaek buatan Prancis tahun 78 itu menghempas sebuah pohon besar. Baling-balingnya menyebat apa saja lalu berhenti dan patah. Tak lama kemudian tubuh heli ringsek dan lagi terhempas ke tanah. Dua teknisi terlempar keluar. Copilot Guntur tetap berada di bangkunya namun tubuhnya terjepit di antara kerangka heli. Ah, tubuh Pilot Hery. Dia terlempar menghantam kaca heli dan jatuh ke tanah. Tubuhnya terhimpit oleh heli, sangat mengenaskan. Aku gamang di antara sadar dan tak sadar. Di manakah kami, aku tidak tahu. Yang jelas belum memasuki wilayah distrik Asro, barangkali masih di perbukitan. Ah, jangan tanya bagaimana keadaanku, aku sungguh tak tahu, tiba-tiba saja pandanganku gelap dan semuanya hilang. *** Aku sadar telah mendapati diriku berada di RSCM Jakarta. Aku tengah menjalani perawatan intensif di rumah sakit pusat itu. Setelah berhasil dievaluasi oleh Tim SAR dan anggota TNI saat itu juga aku langsung dirujuk dan diterbangkan dari Papua menuju Jakarta dengan Kurnia Hadinat16 a pesawat khusus. Setelah mengetahui secara pasti heli super puma SA330 milik TNI hilang dan jatuh, tim SAR langsung melakukan penyisiran di wilayah yang diduga kuat sebagai tempat jatuhnya heli. Tak lama Tim SAR menemukan puing heli dan mengevakuasi korban. Satu-satunya korban yang selamat dalam peristiwa itu adalah aku. Selebihnya ditemukan dalam kondisi yang sudah tak bernyawa. Aku ditemukan dalam kondisi kritis di antara sadar dan tak sadar. Tapi dalam ingatanku jelas salah seorang Tim SAR yang memapah tubuhku itu adalah Ramses, temanku dari Medan yang juga anggota TNI itu. Di ruangan itu aku terbujur tak berdaya. Tubuhku masih lemah, lengan dan kakiku dibalut perban dan baru saja selesai dioperasi. Di sampingku sudah berdiri ayahku yang sengaja didatangkan pihak TNI dari kampung halamanku. Ia sama sekali tidak memperlihatkan raut sedih. Ia terlihat tegar dan mengusap keningku. “Ayah harap kau tegar, Yung!” “Terima kasih, Ayah. Ibu di mana, Yah?” “Ia di kampung tidak bisa ikut. Ia sehat-sehat saja. Jika kau pulih nanti kita pulang ke rumah. Ia rindu sama kamu, Nak,” ujar ayah. Entah mengapa aku melihat ada mendung di wajah ayah. Aku seperti berdosa pada diriku sendiri. Wajahnya, meski ia berjuang menutupi kegundahan di hatinya akan apa yang menimpaku, keadaan hidupku kini, tetapi aku jelas sekali melihat ada kegalauan di matanya. Membaca sebuah kegetiran pada dirinya. Semangatnya, jiwa nasionalismenya yang dulu menggebu-gebu, kini kian pudar seiring raut wajahnya yang semakin senja. Tak lama, di sela perbincangan itu muncul sosok kekar dan tegap. Pandanganku tertuju pada lelaki yang baru saja masuk ke ruangan itu. Ia membalas menatapku. Ia Ramses si sahabatku, si pengkhianat itu. “Gimana kabar kau, Buyung. Aku sengaja datang kemari hanya untuk melihat sahabatku, Yung,” ujarnya. Dalam hatiku berkecamuk antara benci dan rindu. Beraniberaninya ia mengatakan aku sahabatnya. Jika aku sehat ingin rasanya aku tembak dia sekarang juga. Tanpa merasa berdosa ia menampakkan diri lagi di hadapanku. Tak punya rasa malu. Pelan aku menarik nafas. Mata kami beradu. Ia memelukku. Matanya berkaca-kaca. “Kita impas, Yung. Maafkan aku, Yung,” ujarnya. Cerita dari Tapal Batas 17 Aku paham kata-katanya, ia sudah membayar hutangnya, atas kesalahan masa silam dengan menyelamatkan nyawaku dengan ikut sebagai Tim SAR dalam pencarian heli yang jatuh itu. *** Penghujung tahun itu hujan menderas, menggila menyetubuhi bumi dengan segala rintiknya. Di penghujung Desember yang sendu dan sembab ini semuanya tiba-tiba berubah menjadi mendung lalu berat dan menggugurkan bayi-bayi gerimis. Jika kuingat hujan aku selalu teringat posku di tapal batas; aku teringat aroma tanah Cendrawasih; aku teringat peristiwa di pinggiran sungai di perbatasan itu. Aku sungguh belum bisa memaafkan Ramses. Ia lebih dari sekedar sahabat yang berkhianat. Ia adalah pengkhianat bangsa dan negara ini.*** Kurnia Hadinata Lahir di Batu Sangkar, Sumatera Barat, 17 Desember 1982. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa, Sastra dan Seni (FBSS) Universitas Negeri Padang (UNP), 2004. Aktif menulis di beberapa media lokal dan nasional. Karyanya, buku kumpulan puisi Aubade Pesta Hujan (2003) dan Musim Hujan yang Menggugurkan Daun-daun Puisi (2007), serta novel Bianglala di Bukit Barisan (2008). Mahasiswa S2 di Universitas Negeri Padang ini mengelola rumah baca dan sanggar menulis bagi anak miskin dan pemuda putus sekolah, sekaligus staf pengajar di SMPN 2 Panti dan SMAN 1 Panti Kabupaten Pasaman. Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 “CERUK besar itu mengundang kumbang, capung dan burung, juga menggoda angin mempercepat pertemuan serbuk sari dan putik rumput liar di sekitarnya. Cahaya yang terpantul di permukaan air yang tenang dan kesejukan yang menyebar membuat orang bergegas membawa kayu-kayu tua tapi masih cukup kuat, untuk mendirikan bangku sederhana di tepinya. Setelah beberapa bulan berlalu, saat tanah yang terkikis dari lereng-lereng gunung mulai mengeras, orang-orang semakin sering datang ke tepi danau itu mengenang longsor dan menghitung-hitung berapa persisnya orang yang mati dan hilang, berapa luas ladang yang lenyap, berapa panjang jalan beraspal yang pecah berantakan dan membuat desa terisolasi. Seperti sebuah tempayan raksasa yang dihadiahkan alam dalam semalam, yang dipenuhi air, yang kelak ditumbuhi teratai, dihuni ikan, dilapisi alga di dasarnya. Gunung dan bukit menjaganya. Danau yang lahir setelah prahara gempa itu, bertahun-tahun kemudian menjadi tempat orang-orang membasuh sedih mengenang segala yang ditelan bencana.” Kurang lebih seperti inilah Zara ingin menulis bagian awal ceritanya untuk Fayza. Mungkin sebuah novel, bisa jadi sebuah trilogi yang butuh waktu bertahun-tahun untuk dituntaskan. Sudah lama ia menyusun rencana ini, meluangkan waktu bercerita tentang danau-danau yang terbentuk setelah gempa atau longsor. Zara membayangkan kisah seorang peneliti penyendiri yang bertemu perempuan pemberani seperti Fayza. Juga barangkali tentang masa tua nan sepi seorang mantan diktator yang menimbang-nimbang kembali kezalimannya, yang suatu hari saat melamun di tepian, ditenggelamkan ke danau oleh perawat setia yang mendorong kursi rodanya. *** DI meja makan kayu yang dipenuhi remah roti dan butiran gula yang disendok tergesa, Zara membisikkan rencana itu. Ini bukan pertama kalinya ia bicara tentang keinginannya menulis sebuah cerita yang sangat panjang. 1 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Restoran hotel kecil di pinggiran kota Amsterdam itu seolah milik mereka, sekelompok peneliti yang baru saja mengakhiri sebuah perjalanan jauh. Dan seluruh perhatian tertuju pada rencana Zara yang terasa ganjil di tengah percakapan tentang perubahan ekosistem akibat penimbunan, pendangkalan dan evaporasi danau. Pagi masih terlalu muda, tetamu lain belum ada yang muncul untuk sarapan. Pelayan yang menata menu buffet berkali-kali menghalau kantuk dan memasang senyum semasam yogurt. Seorang teman menghentikan kesibukan mengaduk kopi demi mendengar keinginan yang diungkapkan Zara. Yang lainnya tetap meneruskan mengoles selai kacang di atas roti panggang yang hangat, saat mendengar Zara membuka percakapan perpisahan itu dengan pertanyaan, “Adakah di antara kalian yang memiliki kisah cinta atau kehidupan yang menarik, di sini? Aku ingin mulai menulis sebuah novel untuk mengenang kakakku…” Perjalanan yang jauh telah membuat mereka begitu dekat. Satu sama lain membagi apa saja yang ada di kepala dan di hati, ketika jurnal penelitian telah ditutup, ketika kantung-kantung tidur dibuka, padang di kaki bukit gelap terbentang, suara-suara serangga malam menjadi latar cerita-cerita yang mereka lontarkan sebelum tidur. Zara mendengar teman-teman yang berkisah tentang suami, istri, kekasih, anak atau rumah yang dirindukan. Yang lain mengenang kegagalan masuk dinas militer. Sementara dirinya sendiri mengingat Fayza dengan penuh kerisauan, juga membayangkan sebuah cerita panjang yang begitu ingin ditulisnya. “Aku ingin mulai menulis setelah ekspedisi ini..” Zara berbisik kepada temannya yang ternyata telah terlelap. Di kejauhan ia mendengar burung malam seolah menyahuti rencananya itu. Dan pagi ini, ia mengulang lagi keinginannya itu di sela sarapan yang dikunyah tergesa. Seorang teman lainnya memandang Zara prihatin, menganggap perempuan itu tengah mengidap depresi serius setelah berhari-hari berkutat dengan pencatatan fluktuasi suhu, kemasaman tanah dan daftar vegetasi. Atau barangkali ia terkena pengaruh buruk udara dingin yang selalu saja menemukan cara paling lihai menembus tenda dan kantung- kantung tidur mereka. Atau, jangan-jangan petualangan bermil-mil menelusuri danau dan padang di Finlandia sebelum mengunjungi bekas- bekas danau di Belanda yang telah lenyap, membuat Zara merasa mendapatkan ilham untuk menyampaikan kabar mulia seperti layaknya orang-orang suci seusai menuntaskan semedi yang panjang. 2 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Rombongan peneliti itu berkemas-kemas sejak subuh. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil menuju tempat liburan. Satu dua orang memilih langsung pulang ke negara masing-masing. Ini lazim mereka lakukan saat sebuah ekspedisi berakhir. Zara menyeduh secangkir teh earl grey dan tergesa melahap semangkuk sereal di makan pagi yang dijadikan acara perpisahan itu. “Hendak ke mana Zara?” “Ke Jakarta …” Zara pamit. Teman-temannya melambai, mengucapkan bermacam jenis salam lalu meneruskan sarapan dan percakapan. “Kita ketemu di konferensi Montana, Zara! Hati-hati dan jangan lupa bawa novelmu!” Ini seruan selamat jalan yang paling melekat di kepalanya saat taksi membawanya ke bandara. Terdengar seperti olok-olok. (Oh, tunggu saja! Bukankah Galileo juga menulis puisi di sela kesibukannya membuat teleskop, mengamati jagat raya dan mempelajari aliran sungai?) *** ADA gereja di dasar danau itu. Juga ada rumah-rumah yang lenyap secara misterius tujuh puluh tahun yang lalu. Danau itu sendiri hilang dalam waktu semalam. Seperti sebuah bak mandi raksasa yang dikuras, disedot oleh kekuatan gaib. Seorang nelayan yang terkantuk-kantuk di pagi hari, memutuskan menelepon polisi mengabarkan lenyapnya danau di 3 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Desa Bolotnikovo. Penduduk desa berkerumun. Ada yang membatalkan kegiatan hari itu, memilih berdoa. Ini bukan pertanda baik. Sebaiknya jangan pergi jauh-jauh. Dua anak muda yang bangun kesiangan sehabis mabuk-mabukan di bar di desa sebelah, mengigau sambil sempoyongan. “Hantu danau beraksi lagi, kali ini mencuri semua air!” Wartawan dan peneliti datang hampir bersamaan, mendapati dasar danau yang berlumpur. Seorang pejabat Rusia memberi keterangan pers, ada aktivitas gua-gua di bawah tanah. Ada celah yang tiba-tiba melebar di dasar danau dan menghisap semua air yang ditampung selama ini. Tapi bagaimana nasib ikan, lumut, alga dan berudu? Di mana lagi kita harus berenang dan berperahu? Rengek kanak-kanak yang menarik-narik ujung gaun ibunya. Seorang nenek berujar apatis, “Ah, ini ulah Amerika!” Zara juga ingin bercerita tentang Danau Beloye yang tiba-tiba mengering lenyap, menyisakan takhayul seperti yang ditemuinya di Desa Bolotnikovo. Hikayat yang seram tentang gereja dan sederetan rumah penduduk di sekitar danau yang tiba-tiba hilang puluhan tahun lampau, membuat orang-orang bergidik. Apakah Fayza senang pada kisah-kisah mahluk misterius yang tinggal di danau yang dikabarkan kerap menculik manusia? Kakak, mahluk seperti apakah yang menyekapmu? *** Bandara Schipol DI sebuah lounge yang senyap, benak Zara sibuk menyusun sejumlah cerita. Tiga sofa biru tua yang empuk dan lembut, dua layar televisi plasma yang menyiarkan iklan wisata tanpa henti, 4 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 seorang perempuan dengan dandanan meriah duduk dengan posisi kepala tertunduk menahan kantuk, seorang lakilaki dengan kemeja lusuh yang lengannya ditarik hingga ke siku, menyelonjorkan kaki di atas koper kecil bermerk Samsonite abu-abu, ia membaca buku yang di sampulnya tertulis The World is Flat . Di sampingnya, duduk seorang gadis dengan ransel The North Face yang begitu besar. Zara membayangkan gadis itu bakal sempoyongan saat berjalan menuju kabin pesawat memanggul ransel yang seolah menampung setengah dari isi Bumi. Lihatlah, orang-orang dengan penampilan yang berbeda-beda, tapi dengan tujuan yang sama: menunggu penerbangan paling pagi. Belum pernah Zara secermat ini membuka lebar-lebar matanya dan mengamati dengan seksama setiap orang. Begitu banyak bandara, pelabuhan dan tempat-tempat ramai yang telah didatanginya, baru kali ini ia meluangkan waktu memperhatikan dengan sepenuh hati segala gerik-gerik orang di sekelilingnya. Ia telah membayangkan dua danau di tempat yang berbeda. Yang satunya tercipta sekejap seusai guncangan gempa dan hantaman longsor. Yang lainnya ditelan seketika oleh gua-gua rahasia di perut Bumi yang menganga dan menghisap semua isinya, menyisakan dasar ceruk yang berkerut-kerut seperti kulit jeruk. Kisah dan orang-orang seperti apa yang hendaknya kuciptakan untuk mendampingi cerita Fayza yang begitu mencekam? Sebuah rumah kecil yang sesak dengan kenangan. Di situlah mereka berdua menghabiskan masa kecil. Di mata Zara, langit selalu terlihat sangat dekat, seperti sengaja ditarik turun beberapa meter untuk menjadi latar pemandangan danau kecil di kejauhan yang tampak dari jendela rumah mereka. Danau tempat Fayza mengajaknya berperahu, berenang, menjaring ikan dan memetik biji teratai. Bertahun-tahun kemudian setelah ia menjelajah satu demi satu danau di belahan Bumi utara, yang beku di musim dingin dan cemerlang beriak tenang di musim panas, barulah Zara sadar bahwa langit memang kadang terasa sangat dekat, bahkan kerap seakan pindah ke permukaan danau, memantul-mantul jelas. Langit seperti bercermin mematut diri. Pernah sekali pemandangan menakjubkan itu membuat Zara yakin bahwa danau 5 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 dengan permukaan sebening kristal membuat teratai dan bunga bakung seolah tumbuh di pantulan bayang-bayang awan yang berenang. Fayza dan seribu kenangan yang melintas silih berganti. “Ada teori baru apa lagi, Nona peneliti danau?” Zara dengan penuh semangat bercerita tentang danau-danau di Utara, tentang laju evaporasi di danau tertutup, tentang pendangkalan, tentang pencemaran, tentang danau buatan yang bentuknya tampak aneh. “Zara, apa yang kusuka dari sebuah danau, karena kita tahu pasti ia hanyalah sebuah ceruk di tengah-tengah daratan luas. Ia bukan sungai yang mengalir ke laut, ia juga bukan samudra yang membuat kita cemas membayangkan di manakah pantai terdekat untuk berlabuh. Danau adalah hamparan air yang bisa kita nikmati tanpa perlu mencemaskan angin yang bisa tiba-tiba menjadi sangat kencang, tanpa perlu mengkhawatirkan gelombang pasang dan badai. Tepi danau yang tampak, meski hanya bayang-bayang yang samar, membuat kita tidak bakal merasa kehilangan arah dan menebak-nebak jalan pulang…” Fayza jugalah yang membuat Zara menumbuhkan cintanya pada danau, hingga akhirnya ia menegaskan sebuah cita-cita: limnologist. Nama yang tak akrab untuk sesuatu yang begitu dekat dengan masa kecil mereka. Ia menjelajahi danau, telaga, waduk dan segala ceruk di daratan yang menampung air. Fayza sendiri memilih jalan hidup di balik spanduk-spanduk perlawanan, meninggalkan kehidupan setenang danau, melupakan masa kecil menyenangkan, mengabaikan angin yang mendorong perahu dan keriangan mengumpulkan biji-biji teratai. “Kalau menurut teori, tempat bermain kita dulu itu bukan danau, tapi hanyalah telaga luas, Kakak…” “Apa bedanya danau dan telaga? Ah, Nona peneliti jangan sok serius begitulah! Kenapa harus kaku menggunakan definisi…” 6 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Fayza kembali turun ke jalan, mengepalkan tangan, membentang spanduk. Zara terbang kembali ke Montana bergabung dengan sebuah tim ekspedisi. Ia menenggelamkan diri dalam penelitian bertahun-tahun, juga mengadakan perjalanan ribuan mil mendatangi danau-danau di Bumi utara, yang putih beku di musim dingin, dan yang cemerlang di musim panas. “Kakak hati-hati ya.” “Kau yang harusnya hati-hati di negeri orang, Zara.” Bandara Schipol yang lengang, dengan beberapa petugas yang terkantuk- kantuk di pagi yang belum merekah. Gerai-gerai toko masih tutup. Satu-satunya kesibukan tampak dari sebuah kafe kecil yang menebar bau kopi. Fayza melintas-lintas di benak Zara seperti cahaya berwarna warni yang berkejaran. Kenangan demi kenangan menyala terang. Ah, tiba lagi waktu itu. Sebuah peringatan yang selalu membawanya pulang ke Jakarta, bertemu orang-orang bernasib sama. Kakak, bandara ini adalah sebuah danau masa lalu. Orang menyebutnya Herlemeer. Bukan danau yang tenang dan menyejukkan seperti yang kita kenang. Ini adalah medan pertempuan laut yang sangat sengit, antara pasukan Belanda dan Spanyol. Siapa yang membayangkan ratusan tahun kemudian ia dapat ditimbun dan diubah menjadi hamparan lantai keramik berkilau, di atasnya dibangun dinding-dinding kaca, ramai didatangi orang-orang yang hendak pergi dan pulang? Kakak, dulu kau bilang, danau bukan tempat yang menandakan penjelajahan jauh seperti halnya samudra. Di seberang, kita selalu pasti menatap tepian, katamu. Kau yakin, orang-orang mengarungi danau untuk sekadar mengitarinya, bukan merencanakan perjalanan yang jauh. Dan karenanya kau pernah bersikeras berperahu sendiri dan memintaku melambai di tepian.” (“Kakak pasti pulang. Zara, jangan khawatir. Bila Kakak tiba di seberang, lambaianmu masih terlihat di sana…”) “Kakak,orang-orang memang sejak dulu melenyapkan danau demi melancarkan rencana-rencana yang semakin jahat dan serakah. Di negeri ini, danau ditimbun menjadi tanah 7 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 pertanian. Rawa-rawa disulap menjadi lahan pabrik dan jalan bebas hambatan. Tapi danau yang hilang itu juga melenyapkan kemilau lanskap, membuat sedih para pemburu cahaya di dataran rendah ini. Para pelukis Eropa di abad-abad lampau yakin bahwa cahaya di sekitar danau adalah hadiah alam tiada tara. Ia terentang di garis langit, diselubungi titik-titik air yang sangat halus. Sungguh, keindahan yang subtil.” [1] *** Jakarta PULUHAN wajah tertunduk. Ada air mata yang berkilau diterangi cahaya lilin, ada karangan bunga dengan pita belasungkawa, juga ada doa yang dilambungkan ke angkasa malam. Sebuah spanduk besar dengan sembilan gambar wajah, terentang bersama renungan yang dituturkan dengan suara bergetar. Delapan tahun sudah orang-orang ini terperangkap dalam terowongan misterius yang begitu panjang dan tak menunjukkan tanda cahaya di ujungnya. Setiap tahun, saat mereka berkumpul untuk mengingat hari tragis itu, langit-langit terowongan itu memang terang benderang dengan kenangan. Tapi hanya sekejap. Selebihnya adalah gelap. Di dinding terowongan itu terpahat luka, sakit hati dan dendam. Udara yang memenuhi rongga dada mereka mengandung amarah sekaligus sikap pasrah dan putus asa. Menyesakkan. “Hari itu tak ada yang aneh. Orang-orang di rumah tak ada yang memiliki firasat buruk. Fayza pamit seperti biasa dan hanya berpesan kamar tidurnya dibersihkan sebelum ia pulang.” Zara mendapat giliran mengenang Fayza. Apa yang dituturkannya adalah kutipan dari buku harian yang murung, yang dibuka sekali setahun untuk dibaca di depan banyak orang. Tahun demi tahun diceritakannya tentang Fayza yang pamit, melambai di pintu. Di pagar, perempuan itu berhenti sejenak, memeriksa spanduk-spanduk unjuk rasa di tas kain yang menggantung di bahu kanannya. Lalu tubuhnya hilang di ujung jalan. Di samping Zara, ayah dan ibunya memeluk foto sang demonstran yang tersenyum sangat manis itu. Kaca bingkai foto itu berkilau ditimpa tangis, seperti dedaunan yang cemerlang sehabis hujan. 8 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Zara kemudian mundur, memberi tempat bagi orang-orang lainnya membeberkan kenangan mereka. Dan saat doa dan renungan dituntaskan, lilin-lilin meleleh, bunga duka cita ditabur di pelataran, seorang panitia acara renungan meneriakkan kemarahan. “Besok kita akan serukan lagi desakan baru. Ini sudah delapan tahun! Bahkan pernyataan maaf secara resmi pun tak sudi mereka berikan! Manusia-manusia tak punya hati itu harus terus ditekan! Kita tidak boleh lengah, harus tetap menuntut! Penculikan ini harus diungkap tuntas!” Lakilaki berpakaian serba hitam lalu menghampiri Zara, menjabat tangannya sangat erat. “Fayza aktivis yang luar biasa berani. Ia menjadi inspirasi. Kami tak mungkin melupakannya!” Zara terdiam. Ia teringat danau di Bolotnikovo, yang hilang dalam semalam, seperti Fayza yang juga lenyap begitu saja. Ingin kutulis cerita tentang danau yang hilang itu untukmu, Kakak… “Sudah larut. Kita pulang Zara…” Keranjang bunga yang digenggam ibunya telah kosong. Ajakan pulang itu mengembalikan kesadarannya. Kembang untuk Fayza telah ditabur di pelataran. Aspal hitam yang dipijaknya berhias kelopak ungu dan putih. Delapan tahun sudah mereka berziarah di pelataran itu. Tak ada makam untuk Fayza, karena mereka semua bersikeras bahwa perempuan berani itu hanya lenyap hilang disekap. Bukannya mati. Meski dalam kenyataan, yang ada hanya kesimpangsiuran, harapan yang makin menipis berendengan dengan kenangan yang semakin menebal. 9 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 Taburan kembang di pelataran itu, di sebuah sudut kota yang diyakini menjadi saksi terakhir keberadaan Fayza dan demonstran lainnya, akan hilang besok. Mungkin terbawa angin, atau mungkin disapu petugas kebersihan. “Kakak, hati-hati…” “Kau yang harus hati-hati menjelajah negeri-negeri yang jauh, Zara.” Zara ingin sekali kembali ke waktu di mana percakapan itu terjadi. Ia menyesal tak pernah menegaskan kekhawatirannya dengan sungguh- sungguh. “Kakak yang seharusnya lebih hati-hati di negeri sendiri….” Tokyo – Munich, Juni 2008 Catatan: * Cerita ini dipersembahkan untuk orang-orang yang hilang dalam perjuangan menegakkan demokrasi. 10 / 11 Danau Ditulis oleh Lily Yulianti Farid Rabu, 05 Mei 2010 19:54 * Bahan cerita diambil dari berita BBC dan Kantor Berita Pravda tentang White Lake di Desa Bolotnikovo, Rusia yang hilang dalam waktu semalam pada Mei 2005. Cerita ini juga diilhami oleh terbentuknya 23 danau akibat longsor sehabis gempa dahsyat pada 12 Mei 2008 di Provinsi Sichuan, China serta proses terbentuknya danau-danau di Montana, AS, puluhan tahun lalu. Bahan tentang danau di Belanda dan pelukis yang mengabadikan cahaya di atas danau dan permukaan air terinspirasi dari artikel See the Light ditulis oleh Ken Wilke untuk Holland Herald, edisi Juni 2008. [1] Kalimat ini disadur dari latar belakang pembuatan film The Dutch Light, karya sutradara P ieter-Rim de Kroon dan penulis Maarten de Kroon . Pemburu cahaya yang dimaksud adalah para pelukis Belanda abad ke-17 yang terkenal sangat terampil melukis gradasi cahaya, menyamai presisi karya fotografi. 11 / 11 Di Jarwal, Kutunggu Kematianku M. Shoim Anwar Jarwal masih menyisakan bagian dari kota tua. Gedung-gedung bertingkat terlihat digerogoti usia. Dinding-dindingnya kusam, melepuh seperti kulit terbakar. Kayu pada bagian-bagian jendela dan pintunya keropos, besi-besinya berkarat karena bersabung dengan waktu. Bahkan di sana-sini tampak bangunan yang sudah tak difungsikan lagi. Suwung. Memang di kota ini gedung-gedung baru bertingkat juga terus dibangun, baik di Jarwal Tayssir maupun Jarwal Gasylah. Gununggunung batu digempur dengan raksasa berbelalai-belalai baja. Tapi karena dipanggang cuaca yang sangat panas dan hujan jarang sekali turun, dinding-dinding bangunan itu dengan cepat memudar sehingga kesan tua tak terhindarkan lagi. Kakiku terasa ngilu. Jalanan menanjak perlahan tapi pasti. Sampai di ujung Jalan Al-Sadah, terlihat puncak gunung yang gersang di sebelah barat sana. Aku terus menapak, belok ke timur lewat Jalan Al-Mahakem hingga tembus ke Jalan Al-Tayssir. Ada sisa-sisa air menggenang, merembes dari pipa-pipa dan saluran yang bocor. Udara panas mengalir, menyisir debu yang tertumpuk bersama onggokan bongkaran. Burung-burung merpati liar berkelepak ke ceruk-ceruk bangunan. Di Jarwal, kulihat langit memucat seperti kain kafan terbentang. Sesekali terlihat burung elang berputar-putar, mencari anak-anak merpati yang bergerak-gerak di sarang ketika minta disuapi induknya. Aku datang ke kota ini untuk membersihkan diri dari debu-debu dan kotoran hati. Pada akhir sisa hidup, seperti tak ada jalan lain, kota ini menjadi tumpuan pengakuan. Uang pensiun terkapling tanpa sisa, bahkan kurang. Ratusan, bahkan ribuan perkara yang pernah aku tangani, menyisakan rasa nyeri. Lingkaran setan dari waktu ke waktu telah membentuk labirin. Pada akhir sisa hidup ini semua berubah jadi duri. Para tamu yang selama lebih kurang empat puluh hari memadati kota kini telah kembali ke negeri masing-masing. Sisa-sisa sampah masih menumpuk di sana-sini, plastik-plastik beterbangan, roti-roti telah kering menjamur, serta kulit-kulit buah membusuk. Tapi aku M. Shoim Anwa2 r masih tetap di sini. Sengaja memisah dan menghilangkan diri dari rombongan. Aku sembunyi di tempat yang jauh menjelang rombongan kembali ke tanah air. Biarlah aku mati di sini. Jarwal barangkali masih menyisakan ruang untuk lelaki tua yang kehabisan masa jayanya. Seseorang tiba-tiba menyapaku. Dia menyeruak dari mobil-mobil bekas di Qishla Parking. Meski berpakaian serba hitam, melihat wajah dan mukanya yang terbuka, aku langsung menduga bahwa dia bukan warga sini asli. Beberapa saat dia menoleh kembali ke belakang karena ujung rok panjangnya kecantol di bemper mobil yang ringsek. Dia menariknya, tapi gagal sehingga terpaksa jari-jarinya harus ikut campur melepaskan. Aku memperhatikannya. Dia seperti memberi isyarat agar aku menunggu. Begitu ujung rok dapat dilepas, dia bergegas mendekat. Ujung roknya bagian belakang terseret di permukaan tanah ketika jalan agak menanjak. “Bapak dari Indonesia?” “Ya. Kok tahu?” “Dari kopyah hitamnya,” dia menuding. Aku menganggukangguk, berhenti dan terdiam beberapa saat. Perempuan muda itu menoleh ke kiri kanan, seperti kadal mencari serangga, entah apa yang dicari. Tampak bintik-bintik keringat di hidungnya yang agak pesek. Alis dan pangkal bulu matanya ditebalkan dengan pewarna. Dia kemudian mengajakku salaman. Aku raguragu, namun tak dapat menolak ulurannya. “Situ dari mana?” aku ganti mengorek. “Sama dengan Bapak.” Apa yang sudah ada dalam pikiranku terbukti. Perempuan itu ekspresinya semakin tenang, tidak lagi ragu seperti tadi. Dia tersenyum tipis, setipis kain cadar. Sesaat aku menunduk. Tampak ujung jempol kakinya dicat kuku warna merah tua seperti buah kurma. Selanjutnya kami saling melontarkan pertanyaan yang sama, termasuk soal nama. Sampai pada akhirnya aku dan dia menyebut kota asal masing-masing, bahkan sampai pada kecamatannya. Kukatakan pula pekerjaanku dahulu. Tapi perempuan itu tampaknya belum mau berterus terang soal yang terakhir ini. “Bapak sudah lama tinggal di kota ini?” “Belum.” “Ada keluarga di sini?” Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 3 Aku menggeleng. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya meluncur dan kujawab seperlunya, terutama mengenai statusku di sini. Akhirnya dia bertanya alamatku. Kukatakan bahwa di sini aku tak memiliki tempat tinggal tetap, namun sementara waktu aku dapat tidur di sisa bilik yang kotor tempat pondokan rombongan dulu, yaitu di deretan nomor 1028. Pemilik tempat itu memang jarang ngurusi dan tinggal berjauhan. Untung aku sudah kenal dengan sang penjaga yang juga orang asing di sini, namanya Ismail, dari Mesir, berkulit agak gelap, berkumis, serta berambut keriting. Di bilik yang pengap dan sempit, di lantai paling bawah dekat gudang, di situlah aku bisa menidurkan diri. “Ini untuk Bapak,” perempuan tadi mengulurkan tangan. “Apa?” “Sekedar untuk beli minum,” jawabnya. Dan aku menerima pemberian itu sebagai rezeki yang tak terduga. Meski jumlahnya hanya cukup untuk dua atau tiga kali makan, tapi pemberian itu dapat menyambung hidupku di sini. “Suatu saat saya minta tolong Bapak bisa?” kembali perempuan itu bertanya dengan nada sangat berharap. “Kalau saya dapat melakukan tentu bisa.” “Bapak pasti dapat melakukannya.” “Apa itu?” aku mengejar. “Nanti Bapak tahu sendiri.” “Kalau mendadak kan susah,” aku menggeleng. “Jauh lebih mudah dari pekerjaan Bapak dulu. Paling cuma dua atau tiga menit.” “Dua atau tiga menit?” “Benar. Tapi itu bisa mengubah nasib saya.” Aku jadi penasaran. Waktu singkat tapi dapat mengubah nasib. Dia tetap tak mau berterus terang soal bantuan yang akan diminta. Kami akhirnya berpisah. Perempuan yang tadi mengaku bernama Ina itu masuk kembali ke lapangan parkir, dia berjalan melewati celah-celah mobil rusak, seperti kadal melewati semak-semak rumputan, terus menjauh ke arah timur hingga sampai di belakang sekolahan dan menghilang. Seekor burung derkuku berdada coklat kemerahan terlihat mendarat di pinggir lapangan. Mungkin dia terbang dari arah pohon imba di dekat pos pintu masuk. Burung itu mematuk-matuk sendirian. Seperti juga aku. *** M. Shoim Anwa4 r Aku sudah terbiasa berpisah dengan anak dan istri hingga menjelang pensiun. Selama tiga puluh tujuh tahun bertugas, sudah delapan kali aku dimutasi ke berbagai kota dan pulau, tanpa membawa anak dan istri. Akulah lelaki yang sering dirajam kesepian karena hidup sendiri. Kau pasti dapat menduga, cara apakah yang sering kulakukan untuk membunuh kesepian itu. Gaji resmi tentu saja tak mencukupi. Sementara tiap bulan istri dan lima anak minta kiriman. Secara jujur, gajiku sebenarnya habis untuk beli rokok, sehari menghabiskan dua hingga tiga pak rokok kretek berharga mahal. Akulah sang perokok berat itu. Tapi nyatanya, kami semua bisa hidup serba berkecukupan. Pangan, papan, sandang, kendaraan, hiburan, dan berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi secara layak. Tamu-tamu yang datang selalu membawa kesenangan. Kau pasti bisa menebak, jalan apakah yang aku tempuh dahulu. Tentu saja istri dan anak-anak takut kehilanganku. Suatu saat aku mengabari dari luar pulau bahwa aku dalam posisi sulit. Kasus yang kutangani kali ini benar-benar super berat. Pembunuhan berencana terhadap satu keluarga yang berjumlah tujuh orang. Pelakunya diotaki oleh pengusaha yang punya restoran di mana-mana, sedang korbannya dari keluarga anggota parlemen. Kedua belah pihak sama-sama punya pengaruh dan jaringan yang luas. Kasus ini menjadi berita utama media selama berhari-hari. Polisi sebagai penyidik, setelah menahan para tersangka selama 20 hari dan diperpanjang lagi, pada hari ke-38 berkas pemeriksaan dinyatakan P-21 alias lengkap. Seminggu setelah itu penyidik menyerahkan barang bukti dan tiga tersangka ke kejaksaan. Sejak mendapat surat perintah dari pimpinan untuk membuat rentut alias rencana tuntutan aku sudah dilanda gelisah. Ini adalah rentut yang paling banyak makan pikiran dan paling berat selama karierku. Tak dapat dihindari, aku dipaksa oleh ketentuan untuk menetapkan dakwaan tiga lapis atas para tersangkanya, yaitu hukuman mati, hukuman seumur hidup, serta hukuman 20 tahun penjara. Ini adalah kejahatan terhadap nyawa. Setidak-tidaknya aku menerapkan pasal 340 KUHP: “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” “Saudara harus hati-hati dan cermat,” kata pimpinan ketika aku mengkonsultasikan rentut. Aku manggut-manggut. Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 5 Posisiku tidak hanya sulit, tapi juga terancam. Terdakwa yang kutuntut dengan hukuman mati, keluarganya berganti mengancam akan membunuhku. Keluarga para korban, jika aku tidak menuntut dengan hukuman mati, apalagi membebaskan para terdakwa, juga mengancam akan membunuhku. Aku merasa diawasi oleh sejuta mata. Tak boleh menerima tamu. Hari-hari itu tempat tinggalku selalu dijaga oleh para intel berpakaian preman, terutama sejak sidang pertama ketika status tersangka berubah menjadi terdakwa. Aku tidak boleh memakai pakaian dinas saat berangkat dan pulang, apa lagi ketika menghadiri persidangan. Pakaian khusus hanya kukenakan ketika tiba di pengadilan. Itu pun dengan penjagaan super ketat. Pulang dan pergi ke persidangan selalu dilarikan dengan kendaraan tertutup dan antipeluru. Pengunjung sidang selalu membludak. Istriku, Yuliana Mantje, dan anak-anakku: Reni, Yena, Dodi, Tegar, dan Sari tak henti-hentinya menelepon menanyakan keselamatanku. “Bagaimana kabarnya, Bapak?” ini adalah kalimat yang hampir pasti terdengar dari telepon mereka. Aku menjawab bahwa kondisinya masih aman terkendali. “Doakan bapak, ya,” ini juga kata-kata kliseku. “Semoga Bapak diberi keselamatan.” “Ya, kamu semua jangan lupa berdoa untuk bapak.” “Kami di rumah senantiasa berdoa untuk Bapak….” Kalimat-kalimat dalam telepon selalu bernada sedih dan penuh harap. Kata-kata “doa” yang biasanya tak pernah kudengar dari mereka, hari-hari ini selalu terucap secara berulang-ulang, juga dari aku. Kami, tiga orang hakim dan seorang jaksa saat itu, yang biasanya dengan santai dan kelakar saling membantu menyusun skenario untuk disandiwarakan saat sidang karena pihak yang berperkara sudah menyatakan “minta tolong”, kini harus super hati-hati. Berhari-hari aku sangat susah tidur setelah menetapkan salah satu terdakwa dengan tuntutan hukuman mati. Bila itu benar-benar divoniskan, aku merasa punya andil terbesar dalam mengakhiri hidup seseorang. Tapi, syukurlah, sementara hakim ketua, Aria Hutabala, sudah mulai berpikir kemungkinan tak menjatuhkan vonis mati. Sidang ini memang selalu jadi perhatian publik. Sebelumnya, saat rekonstruksi di lapangan, polisi merasa kewalahan untuk mengamankan. Keluarga para korban sangat berkeinginan untuk membunuh para tersangka saat itu, caci-maki terlontar dari tiap sudut. Massa merangsek. M. Shoim Anwa6 r Insiden-insiden kecil terus terjadi terhadap para tersangka. Aparat keamanan terpaksa menggunakan tameng untuk membendung lemparan. Setelah sidang berkali-kali, tiga orang pelaku akhirnya divonis masing-masing hukuman penjara seumur hidup, penjara dua puluh tahun, serta seorang lagi lima belas tahun penjara dengan dalih dia melakukan pembunuhan secara spontanitas. Setelah vonis dijatuhkan, hujan batu menyerbu dari luar, teriakan-teriakan berkumandang. Majelis hakim dicaci-maki karena tidak menjatuhkan hukuman mati. Aku juga dinilai kurang getol dalam memperjuangkan tuntutan mati. Massa dan simpatisan para korban yang ada di dalam dan di luar ruangan tampaknya marah besar. Mereka merangsek ke arah majelis. Aparat keamanan benar-benar kewalahan. Tiba-tiba aku merasakan ada hantaman yang sangat keras ke keningku. Spontan menjadi gelap. Hingga akhirnya aku mendapati diriku telah terbujur di rumah sakit. Keningku bocor karena hantaman benda tumpul. Hakim ketua, Aria Hutabala, yang memimpin persidangan itu dikabarkan terkena tusukan di pinggangnya. Dua hari setelah itu dia menghembuskan nafas yang terakhir. Kasak-kusuk tersiar kabar secara intern, konon Aria Hutabala pernah bertemu salah seorang kerabat terdakwa di luar kota. Aku hanya dapat menduga. Yang jelas, delapan nyawa melayang dalam satu perkara. Setelah tak ada yang menyatakan banding, karena kami juga ingin perkara ini cepat berakhir agar tak menimbulkan dampak lanjutan yang berlarut-larut, aku diberi cuti untuk kesembuhan. Polisi sebagai penyidik punya tugas baru menyelidiki huru-hara itu. Istri dan anak-anakku, meski merasa sedih, menjadi lega ketika aku memanfaatkan masa cuti itu untuk pulang. Dua bulan berikutnya, perintah mutasi pun turun. Aku dipindahtugaskan ke daerah lain. Akulah lelaki yang kini memiliki bekas luka di kening sebelah kanan. Seperti juga harapan yang sudahsudah, semoga aku mendapatkan daerah yang basah. Istri dan anakanakku bisa kelaparan bila aku ditempatkan di daerah yang kering. Lima orang anakku, yang pertama dan kedua ikut suaminya di luar pulau, sedang tiga lainnya juga sudah berumah tangga, kini tidak lagi menjadi tanggunganku. Pada diri mereka mengalir sejarah kehidupanku. Aku adalah akar dan batang, anak-anakku adalah ranting yang dulu menyerap makanan dariku. Sejak aku pensiun dan ibunya meninggal akibat kanker, kehidupan anak-anakku antiklimaks, seperti laut yang pasang saat pagi dan siang, lalu perlahan surut saat sore Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 7 menjelang. Ibarat buah rambutan yang manis, menjelang habis tiba-tiba pahit karena bijinya ikut tergigit. Itulah sebabnya ketika aku berangkat ke kota ini mereka tak ada yang memberi uang saku. Salah seorang di antara mereka, Dodi, memasukkan sesuatu ke saku celanaku saat aku berangkat. “Ini untuk Bapak,” katanya. Dalam perjalanan, pemberian anak ketigaku itu aku lihat. Sialan itu anak, dia memberiku obat sakit kepala lima bungkus dan di tengahnya terdapat obat kuat alias penambah gairah sebanyak lima bungkus. Apa-apaan si Dodi ini! *** Cuaca ternyata berubah dengan cepat. Udara di Jarwal tiba-tiba menjadi agak dingin. Langit seperti memburam. Pertengahan bulan Desember, mungkin musim dingin segera tiba. Koran, yang mengutip pernyataan Pimpinan Umum Meteorologi dan Pemeliharaan Lingkungan, memberitakan bahwa saat pergantian musim seperti ini rawan hujan deras yang disertai kilat dan badai. Burung-burung merpati yang umumnya berbulu kelabu tampak kurang gairah, bertengger di sudutsudut jendela sambil lehernya dikerutkan. Kota menjadi bertambah sepi. Perdagangan tidak lagi bergairah seperti awal aku datang dulu. Udara makin dingin bersamaan dengan angin yang bertiup. Gedung tua bertingkat ini agak lama suwung. Aku masuk ke bilik. Kepala menjadi tidak nyaman karena pilek. Pemberian si Dodi ternyata berguna juga. Obat sakit kepala itu kuminum sebungkus. Ini hari Sabtu. Pada bagian lain, koran tadi juga memberitakan, Jumat kemarin ada pelaksanaan hukuman mati terhadap seorang pembantu yang dinyatakan bersalah karena dengan sengaja membunuh juragannya. Aku bertambah pusing. Ingat kembali peristiwa pembunuhan terhadap tujuh orang yang pernah kutangani, juga ratusan, bahkan ribuan perkara lainnya. Aku jadi masygul, memikirkan rasa keadilan yang dulu sering kumainkan sebagai sandiwara. Kulihat sisa obat pemberian Dodi masih tergeletak di karpet. Aku ingin meminumnya lagi, tapi belum empat jam. Tiba-tiba Ismail mengetuk pintu bilikku yang pengap. Dia memberi kode bahwa di luar ada yang mencariku. Saat aku bangkit, ternyata di depan pintu sudah berdiri seorang perempuan. Dia mengucapkan salam. Sementara Ismail pamit meninggalkan kami. Di luar cuaca memburuk. Bunyi geluduk seperti batu besar yang sedang menggelinding di langit. M. Shoim Anwa8 r “Bapak masih ingat saya?” perempuan berpakaian hitam-hitam itu membuka pembicaraan. “Eh…?” “Saya Ina. Yang pernah ketemu di pinggir parkiran depan sana,” dia menuding ke arah tenggara sambil tersenyum. “Oo…ya ya ingat,” aku mengangguk-angguk. Titik-titik air terasa di lenganku. Ternyata gerimis telah turun. Aku mengingsut masuk. Ina melihat ke arah langit. Di depan pintu bilik ini tak ada terasnya. Meski agak ragu, Ina kupersilakan agak masuk. Sementara gerimis makin kerap dan titik-titik airnya makin besar. Hujan sudah turun. Tak ada pilihan lain. Kami masuk ke bilik dan pintu masih tetap terbuka. Ina kupersilakan duduk di gelaran selimut warna putih tulang dengan motif bunga-bunga warna coklat pemberian Aba Mistiaji Sumo, teman satu rombongan dulu. Ina memperhatikan selimut yang diduduki dan dipegang-pegang. Setelah itu dia melihat obat yang tergeletak di depannya. Ekspresinya agak berubah. “Ini obat Bapak?” Aku mengiyakan. Ina menuding obat penambah gairah di depannya. Senyumnya makin lebar. Tiba-tiba aku merasa malu. Ina tentu sudah akrab dengan merek obat yang biasa diminum para lelaki di tanah air. “Kadal Mesir,” Ina menyebut nama yang pernah kulihat ditawarkan di sini. Fungsinya sama dengan obatku. “Pemberian anak saya waktu berangkat dulu,” aku memungut obatku dari pandangan Ina. Perempuan itu berkedip-kedip karena ada sisa-sisa air hujan di bulu matanya. Kami terdiam beberapa saat. Sekarang Ina dan aku berada dalam satu bilik saat hujan dan sepi. Ina tadi malah sempat menyebut Kadal Mesir. Apakah obat pemberian Dodi ini sudah waktunya aku minum? Tentu saja aku menyingkirkan pikiran seperti itu jauh-jauh. Aku ke sini untuk menunggu kematianku. Bukan untuk bersenang-senang seperti saat jauh dari istri dahulu. Biarlah masa lalu tertelan arus waktu. “Begini, Pak,” Ina membuka pembicaraan. “Dulu kan saya pernah bicara untuk minta tolong pada Bapak. Saya kira sekarang waktunya mengatakan.” “Apa itu?” aku menatapnya, sementara Ina membenahi duduknya. “Bapak mau menikahkan saya?” Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 9 Aku terkejut. Aneh mendengar kata-kata itu. “Saya bukan penghulu.” “Katanya Bapak dulu kerja di bidang hukum?” Ina mengangkat jempolnya. “Iya, tapi tugasnya bukan menikahkan orang.” “Gini, Pak,” Ina kembali menata duduknya sambil mengeluarkan sesuatu dari sakunya, “saya sangat berharap pada Bapak. Saya punya uang seratus untuk biayanya.” “Bukan soal biaya,” aku menegaskan. “Saya minta tolong, Pak.” “Mengapa tidak ke penghulu di sini?” “Saya kan orang asing, Pak. Tidak bisa!” “Terus calon suamimu?” “Sama. Orang Banglades.” Aku terdiam beberapa saat. Wajah Ina terlihat penuh harap, bahkan ekspresinya tambah memelas. “Saya sudah terlanjur kontrak kerja di sini, Pak. Mau pulang nggak mungkin. Paspor saya ditahan. Hanya Bapak yang bisa membebaskan saya dari juragan atau anaknya.” “Memangnya kamu diapakan?” aku mengejar. “Begini, Pak,” Ina tampaknya makin serius, “seperti juga yang lain, di sini saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Tuan Abu Jahal. Susah kalau di sini tak ada suami. Juragan selalu maksa minta begituan setiap saat.” “Maksudnya?” “Suruh melayani kayak hubungan suami istri.” “Astaga!” aku tergoncang. Ina mungkin mengetahui perubahan raut wajahku. Urat-urat leher dan mukaku terasa menegang. Terdengar geluduk di luar. “Eee….apa tiap juragan begitu?” “Tentu tergantung orangnya, Pak. Yang baik juga banyak. Yang jelas tidak sedikit yang mengalami kayak saya. Kalau juragannya tidak, anak laki-lakinya yang begitu.” “Kalau sudah punya suami?” “Mereka nggak berani, Pak.” “Kamu kok nggak cari juragan lain?” “Surat-surat ditahan, Pak. Kalau saya lari berarti akan jadi pendatang haram. Makin susah jadinya.” M. Shoim Anwa10 r Aku terdiam. Rasanya seperti terkena bom dingin. Aku ke sini untuk menunggu kematian. Berharap pada tanah ini agar membersihkanku dari segala dosa. Tapi di sini malah dapat cerita yang memilukan. Tanah memang tak pernah bersalah. Manusianya yang menentukan. Kutanyakan tempat tinggal Abu Jahal tempat Ina bekerja. Perempuan itu menyebut alamat beserta nomornya. Mudah dicari karena gedung bertingkat itu terletak di dekat sekolahan. “Sekarang kamu kok bisa ke mari?” “Saya sembunyi-sembunyi, Pak. Jam segini juragan belum pulang. Nasib sudah terlanjur begini. Saya menyesal ada di sini. Jangan sampai ada perempuan ke negeri ini tanpa suami. Kami dibayar paling murah dibanding dengan pekerja dari negeri lain. Kami disamakan dengan budak, dianggap sah untuk diperlakukan apa saja oleh tuannya.” Muka Ina tampak memelas dan kecut, lembek seperti daun pembungkus kue lemper. Dulu waktu berdinas aku tak pernah merasa terharu terhadap orang-orang yang berperkara. Aku selalu tega selagi tak mengancam keselamatanku. Tapi sekarang, Ina seperti bersimpuh di hadapanku untuk minta diselamatkan. Aku memang bukan penghulu, tapi apakah tak ada cara lain untuk menikahkannya? “Bapak mau menikahkan saya kan?” “Terus calon suamimu mana?” “Kalau begitu saya akan mengajaknya ke mari secepatnya. Terimakasih sebelumnya, Pak. Maaf, saya pamit dulu,” ada perubahan wajah pada Ina. Dia agak terburu-buru bangkit. “Sebentar,” kataku. “Kalau lama-lama di sini saya bisa ketahuan, Pak. Saya pamit dulu. Pokoknya saya akan ke sini lagi dengan dia.” Ina seperti telah kehabisan waktu. Cepat-cepat dia bangkit dan menyalami saya. Kali ini terasa lebih kuat genggamannya. Hujan masih rintik-rintik. Ina menerobosnya dengan langka tergesa. Kulihat titik-titik air berjatuhan di punggungnya. Dia telah menguraikan sebagian perjalanan hidup yang dilakoni. Aku belum paham sepenuhnya, masih banyak yang ingin kuketahui, tapi Ina sementara telah berlalu. Di depan pintu, aku melihat perempuan itu semakin jauh. Mungkin dia akan menyelinap di lapangan parkir, melewati mobil-mobil ringsek dan berkarat, tua seperti diriku. Udara masih terasa dingin. Aku masuk ke bilik. Di karpet terlihat ada lipatan kertas. Kupungut dan kubuka. Aku kaget. Ada uang seratus Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 11 di dalamnya. Ini pasti uang Ina. Dia tadi sempat menyebut angka ini untuk biaya pernikahannya. Uang ini terjatuh atau sengaja ditinggal di sini? Dengan masakan sederhana, uang ini cukup untuk makan selama sebelas hari. Bila dibelikan roti tawar yang panjangnya sekitar setengah meter, yang biasa dimakan dengan dicelupkan ke dalam susu, akan mendapatkan seratus buah. Tapi ini bukan milikku. Ina pasti memperolehnya dengan susah payah, menyabung nasib di negeri orang dengan taruhan harga diri dan kehormatan. *** Jam sudah menunjukkan hampir tengah hari. Sudah waktunya aku pergi ke Tempat Suci. Jaraknya sekitar dua kilo meter. Aku harus berjalan menembus cuaca buruk. Perut terasa mulai perih. Hari ini aku tidak berpuasa. Semoga ada dermawan membagikan makanan di pinggir jalan kayak dulu. Bila cuaca terus memburuk, aku akan menghabiskan waktu di Tempat Suci itu. Memang, selama ini aku selalu berada di Tempat Suci tersebut ketika malam hari. Aku terus beribadah, berdoa, minta ampun atas segala dosa untuk mempersiapkan kematianku. Kematian yang kutunggu. Semoga ia datang ketika persiapanku telah paripurna. Dari para tamu yang datang sejak tiga bulan lalu, sekitar dua ribu orang telah mati di sini. Mereka mungkin telah menunggunya seperti aku. Tiba-tiba aku teringat Aria Hutabala, hakim ketua yang mati tertusuk saat sidang bersamaku dulu. Kematian yang tidak dikehendaki. Esoknya, sekitar pukul sepuluh pagi, Ina datang kembali. Kali ini dengan seorang lelaki tinggi besar, berkulit gelap dan agak berkilat, rambutnya bergelombang dipotong pendek, berkumis dan berjambang. Ina memperkenalkan nama lelaki itu, tapi aku lebih suka menyebutnya dengan Si Banglades. Ina mengatakan kembali niatnya untuk minta dinikahkan. Dia menyodorkan selembar kertas yang di situ sudah terketik beberapa pernyataan dan kolom untuk diisi, mirip formulir. Dia juga membawa foto dirinya dan Si Banglades. “Sudah saya katakan kalau saya bukan penghulu. Tapi kamu tetap minta dinikahkan,” kataku setelah membaca formulir tadi. “Ini juga tidak patut disebut surat nikah.” Raut muka Ina mendadak kecut. Sekali lagi dia menyatakan minta tolong dengan nada memelas. Sementara Si Banglades hanya terdiam tanpa ekspresi karena tidak paham maksud pembicaraan. M. Shoim Anwa12 r “Sekarang jujur saja, ini yang paling penting, kamu di sini punya wali?” “Tidak,” Ina menggeleng pelan. “Atau saudara laki-laki dari ayahmu?” “Tidak.” “Saudaramu kandung laki-laki?” “Tidak.” “Nah… apa lagi begitu. Atau jangan-jangan di tanah air kamu sudah punya suami?” Ina tak menjawab, dia terdiam dan menunduk. Si Banglades melirik perempuan di sebelah kirinya itu. Lelaki itu tampaknya merasa tidak nyaman ketika melihat ekspresi Ina. Aku mendesaknya dengan pertanyaan yang sama. Dengan suara hampir tak terdengar Ina akhirnya mengangguk. Dia sudah punya suami di tanah air. “Berapa anakmu?” aku mengejarnya. “Dua.” Aku mendesah. Beberapa saat tak ada yang berbicara. Uang dalam lipatan kertas yang kemarin tertinggal itu aku letakkan di depan Ina. Bilik ini terasa makin sumpek. Kulihat Si Banglades menggigit-gigit kuku jarinya sebelah kanan. “Kerja apa suamimu di rumah?” Ina hanya menggeleng. “Kamu sering kirim uang ke rumah?” “Ya,” Ina seperti kehabisan kata-kata. Aku membayangkan suami Ina menggunakan uang itu untuk kesenangannya sendiri, berfoya-foya dengan perempuan lain. Dia telah mereguk keringat istrinya. Sementara anak-anaknya hanya kebagian sedikit. Dalam pikiranku, lelaki yang baik dan bertanggung jawab tak mungkin mengizinkan istrinya bekerja di negeri orang. Sementara aku sendiri bertahun-tahun jauh dari istri dan anak. Aku bisa merasakan bagaimana seorang lelaki jauh dari istrinya. Apa yang aku perbuat, tentu kau sudah dapat menebaknya. Jujur saja, apa yang kusangkakan pada suami Ina tidak lain karena aku sendiri pernah berbuat begitu. Sepeninggal Ina dengan Si Banglades, tiba-tiba aku teringat almarhumah istriku, Yuliana Mantje. Dia wanita yang ulet. Terbukti mampu mengasuh lima orang anak tanpa kehadiranku. Aku juga merasa bersyukur istriku tak terjerat kasus seperti Ina yang dikuasai oleh Abu Jahal. Kini pikiranku melompat ke Abu Jahal. Mendengar nama Abu Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 13 Jahal, yang muncul dalam bayanganku adalah seekor gorila raksasa, tubuh tinggi besar, tangan dan kakinya kekar, bulu-bulu di sekujur tubuhnya lebat, serta ekspresinya menyeramkam. Ina tak memiliki kemampuan sama sekali untuk lepas darinya. Gorila itu suatu saat minta dipijiti, dielus-elus, serta bagian-bagian tubuhnya minta dimainkan Ina dengan halus. Bila Ina meronta karena ingin muntah, gorila itu langsung mencengkeram dan menenggelamkan mulut Ina. Ina terengah-engah, mulut membuka mengeluarkan lendir. Pada kesempatan lain, gorila itu memanggil-manggil Ina agar datang ke tempatnya. Ina pura-pura tak mendengar dan berusaha menjauh. Gorila itu menjadi gusar. Dengan langkah mendebam-debam dan memukul-mukul dada, sang gorila menyahut tubuh Ina yang bersembunyi di balik almari. Tubuh Ina dicengkeram, pakaiannya dirobek. Ina meronta-ronta dan menjerit. Hasrat sang gorila tambah terpompa. Dengus nafasnya menggetarkan jendela, matanya merah, serta keringatnya lengket membasah. Ina dilempar ke sudut ruang. Sementara kaki gorila secara bersamaan menendang daun pintu dan menutup rapat. Sang gorila memangsa Ina secara bertubi-tubi dengan gigi-giginya yang runcing. Tak muncul suara dari Ina, sebab lehernya dicengkeram si gorila. Yang muncul hanyalah nafas yang timbul tenggelam karena rasa sakit yang tak tertahankan. Bayangan itu begitu menakutkan aku. Beberapa hari kemudian, pada kisaran jam-jam yang sama, Ina datang kembali ke tempatku. Aku agak heran juga. Kupikir Ina sudah patah arang karena aku bersikeras tak mau menuruti permintaannya. Kali ini dia tidak lagi dengan Si Banglades. Setelah berbasa-basa dengan beberapa pertanyaan, Ina segera mengutarakan maksudnya. “Kalau Bapak tidak mau menikahkan saya dengan orang lain, sekarang saya minta Bapak untuk menikahi saya.” “Apa?” aku tersentak. “Saya mohon Bapak mau menikahi saya.” “Kamu ini bagaimana?” “Saya minta tolong, Bapak. Saya ingin terbebas dari siksaan Tuan Abu Jahal.” “Itu tidak mungkin! Kamu masih punya suami! Kamu tidak punya wali di sini!” “Saya tidak menuntut macam-macam, Bapak. Ini cuma pernikahan di atas kertas. Saya hanya ingin menunjukkan surat nikah itu kepada Tuan Abu Jahal biar dia tidak mengganggu saya lagi.” M. Shoim Anwa14 r “Surat nikah kayak gitu tak ada yang percaya.” “Banyak yang menggunakan surat seperti itu, Bapak. Tidak masalah.” “Terus penghulunya?” “Teman saya dari Banglades tempo hari, Bapak.” “Tidak mungkin!” “Tolonglah saya, Bapak. Dengan menikah berarti saya bisa tinggal di luar.” “Tinggal serumah dengan saya?” “Terserah, Bapak.” “Maaf,” aku menggeleng-geleng. “Saya bisa tinggal di tempat lain, Bapak.” Aliran darahku terasa lebih kencang. Sebuah permintaan yang aneh. Sekali lagi, aku ke sini untuk mati, bukan untuk menikmati kehidupan duniawi. Nasib yang dialami Ina mungkin benar adanya, tapi permintaannya untuk menikah dengan aku jelas tidak mungkin. Ina dengan Si Banglades tentu sudah bergaul akrab. Bahkan, andai aku mau menikahi dan Ina tidak tinggal serumah dengan aku, aku yakin dia akan tidur dengan Si Banglades. Ini sama saja dengan aku memberi kesempatan dia untuk melanggar aturan. Aku akan diperalat oleh dia. Tidak! Tidak! Aku tak mau menuruti skenario Ina! Katakan kebenaran itu walau pahit adanya. Tidak! Ina meninggalkanku dengan tangan hampa. Dia seperti kehabisan harapan. Langkahnya seperti diseret, meninggalkan jejak memanjang di halaman. Bila sebelumnya dia masih menyempatkan menoleh kembali ke belakang untuk melihatku, kali ini hanya menunduk Di Jarwal, cuaca meredup. Musim gugur beralih ke musim dingin. Kehidupan sedang berputar. Jarwal menjadi saksi kehidupan ini. Burung-burung merpati berkelepak rendah. Sepertinya tahu hati Ina yang gundah. Serangan cuaca menghantam. Dingin bukan main. Darah terasa membeku hingga ke tulang dan sumsum. Aku benar-benar menggigil. Pakaian sudah rangkap tiga, tapi masih kurang saja. Untung ada selimut tebal pemberian Aba Mistiaji Sumo hingga agak menolong. Lelaki terbaik dalam rombongan, selalu menolongku dari kesulitan, dia lincah dan gesit seperti burung sriti, mesti tidak muda lagi, dengan badan yang ramping dan cekatan, dia naik dan turun bus untuk membawakan koperku. Aku yakin, dialah orang yang paling bingung ketika aku menghilangkan diri di sini. Aba Mistiaji Sumo, ketika aku dihantam Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 15 cuaca hingga nyaris beku, kau masih menolongku dengan selimut pemberianmu. Aku menggigil. Aku ingin merokok untuk mengusir rasa yang amat dingin. “Coba, mulai besok beli rokok sendiri biar tahu harganya,” katakata Aba Mistiaji Sumo hadir kembali dalam ingatanku. Aku jadi tahu, selama itu ternyata dia telah menambahi dengan uangnya sendiri saat aku titip rokok kepadanya. Uangku ternyata hanya separuh dari harga rokok yang sebenarnya. Aba Mistiaji Sumo, aku berhutang kepadamu. Aku menggigil. Kematianku mungkin sudah dekat. Malaikat pencabut nyawa barangkali telah menjelmakan diri sebagai cuaca yang menusuk hingga ke tulangku. Tapi aku tak boleh mati di bilik yang sempit dan kotor ini. Aku ingin mati di Tempat Suci. Selimut pemberian Aba Mistiaji Sumo aku balutkan ke seluruh tubuh. Hanya mukaku saja yang tampak. Dengan langkah menggigil aku keluar dan berjalan menuju ke Tempat Suci. Burung-burung merpati, yang dulu dinilai berjasa kepada Sang Nabi hingga tak ada yang berani menangkapnya, kini mereka tampak seperti membeku di ceruk-ceruk jendela. Jarwal semakin bertambah sepi. Perdagangan tak ada gairah. Toko-toko hanya membuka sebagian pintunya. Aku terhentak! Saat menyeberang di perempatan jalan, agak jauh dari arah kiriku, ada seorang lelaki bertubuh ramping, berabut tipis, berkaca mata putih dengan gagang berantai yang dikalungkan ke leher, bersarung, berlangkah tegap dan jangkahan kakinya cenderung lebar. Persis ciri-ciri Aba Mistiaji Sumo. Aku menunduk dan mempercepat langkah. Jangan-jangan dia memang datang ke sini kembali untuk mencariku. Selimut yang kubalutkan tubuh ini pun pemberiannya. Dia pasti masih ingat motifnya, warna putih tulang dengan gambar bungabunga warna coklat. Kakiku makin linu saat langkah makin kupercepat. Aku menoleh ke belakang. Lelaki itu berjalan searah denganku. Aku cepat-cepat menyeberang agar berjauhan dengannya. Ternyata lelaki itu juga ikut menyeberang. Apakah dia benar-benar Aba Mistiaji Sumo? Aku tak ingin dia menemukanku di sini dan memaksaku untuk diajak pulang ke tanah air. Aku melewati wilayah Al-Naga, jalan-jalan agak sempit dan ramai, biarlah agak jauh sedikit untuk menuju ke Tempat Suci. Yang penting aku dapat lepas dari lelaki berkaca mata tadi. Ternyata tidak. Ketika aku menoleh ke belakang, dia masih juga berjalan di belakangku. Aku mempercepat langkahku. Ternyata dia juga mempercepat langkahnya. M. Shoim Anwa16 r Detak jantungku semakin kerap. Tak ada pilihan lain. Aku semakin memacu langkah. Ternyata dia pun memacu langkahnya. Rasa linu tambah mengendon di kaki. Atau, jangan-jangan lelaki itu adalah malaikat yang menampakkan diri sebagai Aba Mistiaji Sumo. Dia sengaja diutus oleh Tuhan untuk mengintai diriku. Kekhawatiranku semakin menjadi-jadi, bahkan sudah bermetamorfose menjadi ketakutan. Aku menggumamkan doa-doa. Belok ke arah selatan, jalan agak sempit tapi dapat tembus ke Tempat Suci. Bunyi klakson tiba-tiba menyentak. Sebuah mobil barang nyaris menyerempetku. Aku terdepak ke teras toko. Sopir sini memang banyak yang ugal-ugalan. Seorang berkulit hitam menarik lenganku untuk bangkit, mungkin dia dari Nigeria. Aku sempoyongan dan mencoba berjalan lagi. Ketika menoleh ke belakang, lelaki yang kuanggap Aba Mistiaji Sumo tadi menghablur dalam pandanganku. Sepertinya sosok tadi beralih jadi seorang perempuan. Dia masih saja berjalan ke arahku. Langkahku melambat karena lemas. Ternyata sosok tadi juga melambatkan langkahnya. Beberapa kali aku menoleh ke arahnya. Akhirnya aku semakin jelas, dia memang seorang perempuan, berpakaian hitamhitam, mukanya terbuka, tubuh agak tinggi dan cenderung kurus, berkulit sawo matang, serta berhidung agak pesek, berjalan ke arahku. Jantungku makin berdegup kencang. Aku yakin dia adalah Ina. Aku kembali menunduk dan mempercepat langkah. Jangan-jangan dia juga telah mengetahuiku lantaran selimut yang kukenakan ini pernah diperhatikannya. Aku tak mau direpotkan lagi dengan urusan Ina yang dapat merugikanku. Sama seperti tadi, aku berusaha melepaskan diri dari Ina. Janganjangan dia juga malaikat yang tadi menampakkan diri sebagai Aba Mistiaji Sumo. Aku ingin dia tidak mendekatiku. Aku berbelok ke arah kanan. Ternyata perempuan itu juga berbelok ke arah kanan. Aku mempercepat langkah. Langkah perempuan itu pun ikut dipercepat. Perempuan berwajah Ina itu semakin aku percayai sebagai malaikat yang memburu. Dengan cepat aku menikung ke jalan lain. Ini kesempatan untuk meninggalkan dia. Dengan sekuat tenaga aku agak berlari. Sama seperti aku, ternyata dia juga menikung dan agak berlari. Aku melambatkan diri. Dia melambatkan diri pula. Segala gerak dan arahku serba diikuti. Keberadaannya seperti cermin diriku. Aku masuk ke sebuah gang sempit dan menanjak. Malaikat tadi ikut pula. Kakiku makin linu. Cuaca gerimis, titik-titik Di Jarwal, Kutunggu Kematianku 17 airnya sedingin es. Mungkin sebentar lagi malaikat yang membuntutiku itu segera membetot nyawaku. Aku sudah tak sanggup lagi berjalan. Sementara malaikat itu makin mendekat. Nafasku terengah-engah dan pandangan berkunang-kunang. Tenagaku habis. Aku limbung. Aku masuk ke sebuah ceruk sempit dan pura-pura kencing. Aku takut, jangan-jangan sebentar lagi malaikat tadi menjambak kain selimut di tengkukku dan dengan cepat membalikkan wajahku ke arahnya. Saat itulah dia menyelesaikan tugasnya atas diriku. Entah berapa lama aku terpuruk di ceruk sempit itu. Selimut di badan terasa basah. Aku menggigil. Malaikat pengintai yang berwujud Ina tadi telah menghilang. Meski begitu, bayangannya masih menempel di ceruk-ceruk gedung. Aku mencoba bangkit, tak ingin mati di ceruk sempit dan pesing ini. Aku harus sampai di Tempat Suci. Aku ingin mati di tempat terhormat itu. Aku ingin nyawaku diarak oleh sejuta malaikat untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta. Aku pun ingin jasadku beraroma kasturi dan dikebumikan di sekitar Tempat Suci. Sejak diikuti oleh malaikat penguntit yang menyerupai Aba Mistiaji Sumo dan Ina, tiga hari penuh aku berada di Tempat Suci. Kematian ternyata belum menjemputku. Cuaca makin tak bersahabat. Tiba-tiba aku ingin kembali ke bilik penginapan dulu. Jalanan tambah sepi. Di perbatasan wilayah Jarwal Tayssir dan Jarwal Gasylah, ada mobil ambulan meluncur dengan kecepatan tinggi, sirenenya meraungraung dan lampu kerjap di atasnya menyala bergantian. Ambulan itu berhenti di belakang lapangan parkir Qishlah dekat sekolahan. Karena naluri ingin tahu, dari pertigaan Jalan Al-Mahakem aku menyeberang dan menerobos lapangan parkir. Terlihat beberapa orang polisi sedang membuat coretan-coretan di tanah. Beberapa kali para polisi itu melihat ke atas gedung bertingkat. Melihat nomornya, gedung bertingkat itu adalah tempat tinggal Abu Jahal. Aku tiba-tiba teringat pada Ina. Apa yang sedang terjadi? Aku mencermati coretan-coretan di tanah yang dibuat polisi. Ternyata bentuknya seperti orang terlentang. Jantungku tiba-tiba bergetar lebih kencang. Kulihat pintu ambulan tertutup. Samar-samar di dalamnya ada beberapa petugas sedang mengerjakan sesuatu. Beberapa orang yang kutanya memberi isyarat bahwa ada orang yang terjatuh dari lantai atas gedung. Degup jantungku seperti dibetot, degupnya makin kencang. Ina? Apakah dia baru saja melompat dari atas sana karena menghindari terkaman si Gorila Abu Jahal? Apakah dia bunuh diri atau sengaja dilemparkan oleh si Gorila M. Shoim Anwa18 r Abu Jahal? Aku termenung. Ada penyesalan dalam diriku. Mengapa aku dulu tak mau menikahi Ina? Tapi, andai kata dulu aku bersedia menikahinya, mungkin sekarang aku akan lebih menyesal lagi! Tentu aku berharap yang ada dalam ambulan itu bukan Ina. Tapi aku makin lemas, beberapa orang mengatakan, “Indon…Indon…,” sambil menuding ke arah ambulan. Indonesia? Bila korbannya benarbenar Ina, aku minta ampun atas segala dosa karena terpaksa tak mampu menolongnya dari kesulitan. Aku orang baru di sini. Aku bukan Aba Mistiaji Sumo yang mampu mengambil tindakan dengan cepat dan tepat. Ina mungkin telah mendahuluiku ke alam baka, seperti juga almarhumah istriku Yuliana Mantje dan hakim ketua Aria Hutabala. Perjalanan hidup dan takdir tak mampu ditolaknya. Aku menatap ke kaca ambulan. Wajahku terpantul di sana: tua, kurus, kering, dan keriput. Bisa saja sebentar lagi aku menyusulnya. Kehadiranku ke sini, tak lain dan tak bukan, adalah untuk mati! Maka, perkenankan aku untuk menunggunya, di sini, di Jarwal ini….*** Jarwal–Surabaya, akhir 2009 M. Shoim Anwar Lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya untuk S-2 dan S-3. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. Di samping mengajar, Shoim banyak menulis di berbagai media massa, menjadi pembicara dan membacakan cerpen-cerpennya di berbagai wilayah tanah air, termasuk di TIM Jakarta. Tinggal di Surabaya. Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 Seperti malam yang lain, ada ketakutan yang tak mampu kujelaskan. Malam tak lebih kejam dari masalah yang kurasakan saat ini. Ia tidak hanya sekadar menggurita, tetapi ia justru melilit dan mencengkram lebih dalam. Detak semakin lamban. Seperti malam kemarin juga. Serupa sebelum-sebelumnya jua. Pukul dua belas tengah malam. Angin menusuk gigil. Mencucuk sumsum dan tulang. Aku mempererat hangat dan beranjak menuju rumah. Menuju tempat mula segala duka, sekaligus berharap malam menelanku bulat-bulat. Berjalan melintasi tanah-tanah berlumpur yang menenggelamkanku diam-diam ke ruang-ruang lengang melenakan. Terngiang serapah Ibu mertuaku pagi tadi. Di beranda tempat ia biasa minum teh seraya menyaksikan kelopak-kelopak mawar. Bercerita dan bersenda sambil menunggu senja tiba. Namun, pagi kali ini menjadi lain. Setelah aku membersihkan seisi rumah, seketika Ibu mertua mengumpatku seolah- olah ia sedang dipatuk ular berbisa. “Dasar anak kurang ajar. Gara-gara kau rusak keluarga ini,” perempuan paruh baya itu berteriak-teriak, “perlu kau tahu, ya. Dulu sebelum kau menjadi bagian dari keluarga ini, keluarga ini tidak pernah ada masalah. Setelah ada kau, hancur. Semuanya hancur!” Aku menatap bola mata Ibu mertuaku dalam-dalam. Sebuah laut penuh ombak. Gelombang yang tidak pernah henti menampar karang. Semenjak kami menikah, sejak Ayah mertuaku meninggal karena penyakit yang dideritanya, sejak saat itu pulalah Ibu mertuaku terus menyusun bangunan kebencian terhadapku. Menantu satu-satunya. Ibu mertua yang kemudiannya melanjutkan fungsi Ibu sekaligus Ayah bagi suamiku, Pranata, anak tunggalnya. Mulai kami menikah. Mulai kami mengontrak rumah. Sampai kami terpaksa harus pindah rumah dengan alasan Ibu mertua tinggal sendirian dan rumah besar yang begitu lengang. Ah, bola mata itu seolah semakin beriak. Bola mata tempat biasanya aku berharap teduh. Tempat menimba kebahagiaan yang tak pernah kering. Tetapi, bagaimanapun aku harus memberi penjelasan. “Ibu aku hanya ingin permisi. Aku minta izin berangkat ke kampus. Aku.....” “Diam kau. Asal kau tahu saja, berjalan dengan kau saja aku malu. Malu! Semua orang 1 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 menatapku jijik. Semua orang ingin menelanku bulat-bulat!” Mataku tersengat panas mendengar maki Ibu mertua yang amat pedas. Air mataku seolah ingin tumpah. Namun, kubulatkan tekad membangun bendungan kesabaran, agar air mataku tidak meruah. “Bu, aku perempuan. Aku terbawa perasaan. Aku terlalu mencintai Bang Pranata. Tidak ada maksud lain. Aku mohon Ibu mau mengerti.” “Aku juga perempuan!” “Bukan itu maksudku, Bu. Aku tidak berdaya dengan segala kelemahanku itu. Bang Pranata sosok laki-laki yang paling aku cintai saat ini. Aku begitu mengenalnya luar dan dalam. Aku tidak menyesal bila Bang Pranata melakukannya padaku. Aku rela. Bahkan aku merasa gembira telah berhasil membuktikan rasa cintaku kepada Bang Pranata.” “Ooo, jadi maksudmu kau menyalahkan anakku? Kalau tidak kau bentangkan selangkangmu itu, tidak akan bunting kau. Tidak rusak anakku!” teriak Ibu mertua berapi-api, “Anakku itu baik. Tampan. Anakku satu-satunya. Hanya aku ibu sekaligus ayahnya. Kalau saja kuperintahkan ia menceraikanmu, maka ia akan segera menceraikanmu. Itulah anakku. Didikanku. Tidak seperti dirimu. Apa begini hasil didikan orangtuamu?” “Anak lacur!” “Ke mana lakik diikuti!” “Tidak perdulian!” 2 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 “Gara-gara kau rusak keluarga ini!” Serapah itu bak air terjun tak henti tumpah. Berdegap. Melumatkan bunyi gemerisik dedaunan. Menghempas ke dada. Menderes kalbu. Aku berdarah. Bias-bias kelam itu membawaku perlahan telah sampai di beranda rumah. Aku berdiri lama di batang tiang, pagar masuk. Aku menarik napas panjang. Segar hawanya mencemaskan. Desau angin terdengar menyisir dedaunan. Bunyi denting piring yang ditingkahi dendang repetan. Berantai. Menebas suara telenovela dinyalang televisi, dalam rumah itu. Menembus jendela dan daun pintu yang terkunci rapat. Pada redup lampu beranda yang belum sempat diganti. Serta dengung nyamuk yang tak henti memecah sunyi. Suara repetan itu. Suara repetan ibu mertuaku yang tak henti bernyanyi. Suara yang sudah teramat kukenal. Akrab. Lekat di kedua belah anak telingaku. Suara yang tiap menit kini mulai menggerayangi kegelisahan. Menghantam. Pedih. Meledak. Seolah derit pintu kehilangan baut. Menghantam pikiran yang sulit mengundang tenang. Aku jadi teringat Ibuku. Aku ingin pulang. Aku sudah hampir tidak tahan, membendung terjangan kemarahan yang bertubi-tubi. Seolah ribuan jarum yang menembus ulu hati. Aku ingin mati, agar terlepas beban ini. Jika diminta memilih. Dan tuhan mengizinkan. Aku lebih memilih mati. Kematian yang indah.kusukai. Terlepas bebas. Seolah terbang jauh menembus cakrawala. Berdendang-dendang. Menari. Terus dan menerus. ”Jangan kau kira mentang-mentang aku janda, aku lantas akan seburuk dirimu? Aku perempuan terhormat. Memang, aku istri kedua dari suamiku. Tetapi, aku tidak seburuk dirimu yang merusak keluarga ini. Kau. Kaulah penyebab keluarga ini dicibir orang. Kau yang menjadikan keluarga ini tidak dihormati lagi oleh para tetangga di kampung ini.” Ingin cerai, rasanya tak mungkin. Aku terlalu mencintai suamiku. Apalagi lagi anakku, Cantika, tidak mengerti apa-apa. Aku tak ingin buah hati kami harus mengalami beban yang tak pantas ia dapatkan. Apalagi beban itu disebabkan oleh gelora nafsu jiwa muda kami. 3 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 Aku ikhlas. Aku rela meski selalu dipersalahkan. Termasuk ketika Bang Pranata tidak berbuat apa-apa ketika aku kuyup oleh hujan serapah ibunya. Atau ketika ia ikut serta mencuri-curi waktu di kamar ibunya menyudutkan aku. Serta ketika ia membawa sesuatu ke rumah dan tak secuil pun memberikannya padaku. Apa karena aku terlalu berharap? Atau karena aku yang terlalu cemburu? Terutama di saat aku mendapatkan puisi-puisi yang terlahir selalu menyebut nama perempuan lain. Imajinasi? Mungkin. Atau aku yang terlalu manja ingin selalu di sisinya, sehingga akal sehatku pun tak mampu kukendalikan. Aku tidak peduli apakah ia sedang kuliah. Aku tidak peduli apakah ia sedang bekerja. Aku akui aku salah. Tetapi, mengapa aku diperlakukan sekejam ini? Jauh dari orangtua atau karena aku yang terlalu bergantung hidup pada Bang Pranata. Mungkin akan banyak mungkin yang lain. Atau akan berlimpah atau yang lain. Ah, entahlah. Dan akhir-akhir ini, Bang Pranata yang selalu lebih banyak diam semarah apapun, sekarang mulai berkata kasar. Membentak. ”Sakit kau!” ”Adek kok nggak Abang jemput?” ”Kau yang pergi. Kok, aku yang menjemput? Kau pergi tanpa setahuku, seharusnya kau sendiri yang pulang tanpa harus kujemput. Itukan kemauanmu!?” ”Adek butuh perhatian Abang...” ”Aku sudah muak padamu!” ”Bang. Adek ingin Abang mengerti perasaan Adek...” 4 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 ”Untuk apa lagi aku harus mengerti perasaanmu. Kau selalu saja melawan orangtuaku. Kau selalu saja menjelek-jelekkan aku di depan orangtuamu!” ”Bang. Adek berani sumpah. Adek tidak pernah menjelek-jelekkan Abang?” ”Tidak usah kau bersumpah. Bagiku tidak ada gunanya.” Dan persis seperti malam ini, hentakan umpatan tak juga berhenti. Kaki berat melangkah. Terlebih ketika bilah daun pintu masuk terbelah. Serapah pun memecah. Angin malam yang berhembus sejuk semakin menambah gerah. *** Pagi ini, kicau burung terdengar begitu kejam. Udara seperti menghentak. Aku hanya mampu menahan perih hati. Menahan pedih air mata. Sesabar mungkin kukecup gadis kecilku, membangunkannya dari desing peluru yang meluncur dari mulut ibu mertuaku. Ia bangun dari tidurnya dengan senyum yang justru menambah pedihku semakin parah. Tak lupa melempar senyum pada ibu mertuaku yang tetap pada pendiriannya yang membakar. “Detik ini juga kau pergi!” matanya menebar api,”Aku tidak mau memlihara sundal di rumah ini. Aku malu!” Serapah itu terus meruah. Seirama dengan porak benda-benda yang dilayangkan ibu mertuaku. Benda-benda itu seliweran ke mana-mana. Aku tidak peduli. Tetapi, aku tidak bisa tidak peduli ketika benda itu salah satunya mengenai gadis kecilku. Ia menangis. Ibu mertuaku tidak peduli. Aku mengerang. “Ibu, aku akan pergi. Aku sadar. Aku tahu diri. Tetapi, aku mohon jangan sakiti anakku...” 5 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 “Ya, bawa anakmu itu. Anak pembawa sial!” “Bu, sekali lagi aku mohon. Anak ini tidak tahu apa-apa.” “Ya, anakmu itu memang tidak tahu apa-apa. Anakmu tidak mengerti, tetapi kelahirannya juga ikut andil terhadap hancurnya keluarga ini. Anakmu, anak pembawa sial!” “Bu!” “Apa?! Mau melawanku?!” “Tidak, Bu. Aku tidak akan pernah melawan Ibu. Aku hanya ingin mengingatkan ibu, jangan menyalahkan anak ini, anakku, cucu Ibu...” “Apa?! Apa aku tidak salah dengar? Cucuku?” “Ya, cucu Ibu. Darah daging Bang Pranata.” “Dasar perempuan lacur. Berani-beraninya kau mengatakan itu cucuku, anaknya Pranata!” ibu mertuaku mengamuk laiknya banteng ketaton, menyeruduk ke sana ke mari,”dasar perempuan tak tahu diri. Kau telah menjebak anakku. Kau menjebak anakku agar dia mau mengawinimu. He, jujur saja kau. Sudah berapa laki-laki yang turut andil menanam bibit di perutmu itu, ha!” “Cukup, Bu!” “Ooo, Kau sudah berani membentakku. Kau sudah berani menghardikku. Bajingan!” 6 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 Seperti tidak puas-puasnya ibu mertuaku menjambak. Tak henti-hentinya menampar, memaki, serta menunjang tubuhku. Aku berusaha bertahan. Pukulan dan makian ibu mertuaku yang bertubi-tubi tidak kuhiraukan. Aku segera mengemasi pakaianku. Secepat mungkin menggendong gadis kecilku yang sudah kehilangan suara di serak tangisnya. Waktu masih menyimpan rahasianya. Aku terus mencari maknanya. Angin yang bertiup sedikit berpihak padaku. Hembusannya yang lembut, cukup melenakan anakku. Anakku sedang asyik bermain dengan mimpi-mimpinya. Sampai sekarang memang aku belum paham, apa ini yang disebut karma. Aku pernah teringat selentingan tentang pengkhianatan ibuku terhadap bapakku. Bapakku terlalu mencintai ibu, karena ibu mampu meyakinkan bapakku agar tidak terlalu kuatir. Peristiwanya terasa menyakitkan. Ketika itu ibu mengaku sakit, sehingga tidak bisa menjajakan jamunya. Pagi-pagi sekali Bapak pergi, setelah merapikan botol jamu Ibu. Ibu berselubung sakit. Menitip maaf padanya. Setelah melabuhkan kecup di dahi Ibu, Bapak segera menapak langkah. Bapak diam-diam merangkai kejutan, mencatat pada jejak yang ditinggalkan. Kali ini Bapak seolah mendapatkan kesempatan mengusung pulang sebelum magrib menjelang. Pulang dengan senyum penuh bintang, menabalkan niat kejutan cinta yang lama terpendam walau hanya sekadar setangkai kembang. “Hati-hati di rumah, ya...” “Ya, Kang Mas...” Selalu saja seperti pengantin baru. Kecupan sayang tak pernah dilupakan. Meski usia perkawinan mereka beranjak dewasa, dan momongan mereka hanya aku seorang. Dan kesempatan ini tidak akan begitu saja dilupakan sebagai pengerat diksi puisi cinta mereka. 7 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 Sampai beranjak malam setangkai melati baru didapatkan. Tapi hujan yang mencurah tak kunjung henti. Bapak sempat menunggu beberapa saat, angin yang mendesau seolah tak memberi ruang untuk sekadar lewat. Hujan masih belum jengah menitikkan derai tangisnya. Butir-butir airnya menguyupkan daun-daun. Jalanan basah. Parit-parit muntah. Bapak membulatkan tekad menapakkan langkah. Bapak menelusuri ruang-ruang basah. Bapak sesekali menggigit bibirnya. Bersebab guyur hujan dan deru angin, demi mengabulkan ingin. Seputih hatinya. Hatinya membunga. Semacam taman yang tak henti-hentinya menebarkan semerbak aroma surga. Menyusup pada bilah-bilah dada. Sesampainya di rumah, Bapak menggelupurkan sesak dada. Mungkin karena lupa. Atau ruang pikirnya yang terlalu sesak menggudang segala bahagia. Sehingga ia tak paham lagi mengunyah defenisi-defenisi setia. Entah apa yang merasuk di kepalanya. Ada amuk yang menggelora. Ranjangnya membanjir gairah. Ranjangnya ditenggelamkan irama desah. Bukan gairah miliknya. Bukan irama desah miliknya. Setangkai melati di tangannya ikut merasakan deru amarah. Seketika tenggelam bermandikan darah. Belati di tangan Bapak memerah. Ketika itu aku mendapatkan Bapak sudah digelandang Polisi. Tangannya digari. Ibu sibuk mengutip derai tangisnya di atas ranjang yang penuh dengan simbah darah. “Jangan pernah kau injakkan kakimu di rumah ini lagi!” Aku tersentak. Suara ibu mertuaku membuyarkan segala kenangan pahit. Aku kembali ke alam nyata yang lebih kejam. Tetapi, begitu melangkah ke luar rumah, aku seperti menemukan kesegaran lebih ringan dari udara pagi. Melesat begitu saja. Melintasi segerombolan orang-orang luka. Di antaranya terlihat bang Pranata dengan wajah seputih kapas, digiring paksa. Tepat di sebelahnya, seorang perempuan yang tengah hamil tua. Serentak mereka menuju rumah ibu mertuaku. Aku tak ingin menoleh lagi. Aku merasa bebas. Bebas. Mungkin ada sisa titik iba, ketika kudengar petir sepagi ini pecah dari rumah ibu mertuaku. Suara sepenuh duka. 8 / 9 Ibu Mertua Ditulis oleh M. Raudah Jambak Kamis, 22 Juli 2010 00:44 Medan, 2010 M. Raudah Jambak, S. Pd, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMK Panca Budi – 2 Medan. Alamat Sekolah: Jalan Jenderal Gatot Subroto km 4,5 Medan, Sumatera Utara. Alamat Rumah: Jalan Murai Batu Kompleks Rajawali Indah E-10 Medan, Sumatera Utara. 9 / 9 Kuda Pacu dan Bagal M. Iksaka Banu dan Kurnia Effendi Kediaman Asisten Residen, Buitenzorg, Juni 1869 Pukul setengah delapan malam. Hadirin yang berkumpul di ruang tengah dapat merasakan udara seolah berhenti mengalir, membuat paruparu sulit bekerja dengan baik sehingga hanya menghasilkan tarikan nafas pendek dan berat, menemani rasa kejang yang mendadak menyelinap di sekitar rongga dada. Setengah ragu, Residen HJC Hoogeveen mengangkat badan dari sandaran kursi untuk membebaskan leher dari belitan cravat-nya. Disekanya butir-butir peluh yang bersembulan di dahi dan tengkuk sebelum kembali mengatur tubuh ke posisi semula. Seolah menerima perintah resmi, beberapa pejabat pemerintah yang duduk di kiri-kanan Residen melakukan hal serupa, kecuali Asisten Residen Batavia yang memilih membuka jas lalu menggantungkannya ke sandaran kursi. Tampaknya nyaris tak ada yang ingat bahwa mereka sedang berada di sebuah vila besar di perbukitan Buitenzorg yang sejuk. Walau demikian, semua paham bahwa rasa gerah ini, uap panas ini, tak ada kaitannya dengan suhu udara, melainkan bersumber dari empat paragraf berita yang baru saja dibacakan dengan lantang oleh seorang pria Eropa dalam seragam polisi di atas podium. “Agen Van Sprew,” Residen Hoogeveen melambaikan tangan kepada pria itu. “Maaf kupotong. Tolong kaubaca sekali lagi, berapa persisnya korban yang meninggal? Tadi kau terbatuk-batuk di bagian itu.” “Maaf, Heer, saya memang sedang kurang enak badan, lagipula seharusnya tugas jaksa penuntut untuk membacakan temuan ini kepada Anda semua. Tapi saya rasa beliau baru akan tiba larut malam nanti,” Agen Polisi Van Sprew mendehem sebentar sebelum memasang kembali kacamatanya, menelusuri ulang baris-baris kalimat di atas kertas dalam genggamannya. “Korban, semua sembilan orang. Dari pihak Gubernemen dua orang: Tuan De Kuijper, selaku Asisten Residen Meester Cornelis. Lalu M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend2 i Kepala Polisi Tambun, Maayer. Dari pihak perkebunan: seorang mandor, seorang dokter Jawa, dua asisten mandor, dan sisanya pekerja upahan.” Agen Van Sprew berhenti sebentar, berusaha menyimak dengan seksama denyut otot di dahi, kerutan bibir, serta semua perubahan fisik lain yang barangkali hadir di wajah Hoogeveen. “Silakan lanjutkan ke topik semula, Agen Van Sprew,” jawaban Residen Hoogeveen bukan hanya melegakan hati Van Sprew. Sudah terbayang di benak para asisten residen, betapa akan lambatnya malam bergulir bila Residen naik pitam lantaran mempersoalkan jumlah korban, tanggung jawab, atau ketidakmampuan polisi mencegah api pemberontakan. Maklum, yang terbunuh dari pihak gubernemen bukan sembarang orang. “Sejauh ini penyelidikan mengarah ke sebuah kompleks rumah di daerah Ratu Jaya. Sebelum huru-hara, ada banyak laporan tentang meningkatnya jumlah orang yang menyambangi tempat itu. Bahkan bulan lalu polisi telah mengamati sebuah pesta rakyat yang digelar besarbesaran di situ. Sepintas seperti upacara pernikahan, tapi menurut laporan, khotbah yang disampaikan penyelenggara pesta berbau hasutan untuk melawan tuan tanah dan gubernemen.” “Tempat apa itu sebenarnya?” “Kediaman seseorang yang biasa dipanggil Bapak Rama, Heer. Saya rasa ini bukan nama asli. Sosok inilah yang diduga menjadi salah satu pemimpin pemberontak,” Agen Sprew menatap hadirin. “Semula tempat itu adalah sebuah padepokan, tempat orang-orang mencari pencerahan kebatinan. Pengikutnya, dari keterangan yang berhasil kami himpun, berjumlah sekitar 500 orang. Cukup meresahkan, karena sebagian besar dari mereka ikut dalam penyerbuan kemarin. Meski banyak yang sudah tertangkap, terus terang kami belum berhasil memperoleh nama-nama, struktur, serta hirarki pemberontak.” “Sulit dipercaya, di zaman tenang seperti sekarang ini ada sebagian penduduk berani menunjukkan rasa benci secara nyata, berkumpul dalam jumlah besar, bahkan membunuh pejabat Belanda. Tolong ingatkan aku untuk mengunjungi para janda korban besok siang. Sungguh sebuah tragedi,” Residen Batavia menggelengkan kepala. “Syukurlah para pengacau itu berhasil kita tekan. Sisa pasukan yang lari ke hutan kurasa tidak akan bertahan lama. Aku tahu karakter orang pribumi. Sekali pemimpin mereka tertangkap, semua akan loyo. Tapi tunggu, tadi kau menyebut Bapak Rama hanya salah satu dari pemimpin Kuda Pacu dan Bagal 3 pemberontak. Apakah ada nama lain yang berhasil kita ketahui?” Residen Batavia kembali menoleh ke arah mimbar. “Heer Residen, mohon maaf,” kali ini Agen Van Sprew tak dapat menyembunyikan getar kecemasan yang melanda pita suaranya. “Saya rasa Anda akan terkejut mendengar nama yang akan saya sebutkan sesaat lagi.” “Ya? Mengapa berhenti? Jangan pernah membuatku menunggu, Agen Van Sprew,” Residen mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja. “Heer Residen,” Agen Van Sprew menjilat bibir sebentar. “Orang yang diduga berada di belakang penghasutan dan pemberontakan ini bukan orang asing. Ia memang belum lama tinggal di Buitenzorg, namun semua pejabat penting Batavia mengenalnya. Ia pernah berkelana ke banyak negara Eropa, bahkan pernah menikah dengan seorang wanita Eropa, serta memiliki istana megah di Cikini.” “Raden Saleh!” mendadak seseorang berseru, membuat Residen Hoogeveen nyaris terbang dari tempat duduknya. Ruangan segera padat oleh dengung suara. Sesekali terdengar makian. “Agen Van Sprew, apakah laporan ini bisa dipertanggungjawabkan?” Residen Hoogeveen terkejut sendiri mendengar suara yang keluar dari tenggorokannya. “Kita tidak sedang membicarakan sembarang nama di sini. Kuharap kau mengerti.” Van Sprew membuka map yang sejak tadi tergeletak di atas meja mimbar. Lalu menarik sehelai kertas bersegel yang segera diedarkan kepada hadirin. “Tuan-tuan,” Van Sprew membentangkan tangan lebar-lebar. “Yang sedang Anda amati saat ini adalah sebuah surat perjanjian pembelian keris pusaka. Setiap baris kalimat dalam surat itu tak ada yang istimewa. Kalimat standar yang biasa kita jumpai dalam akta jual beli. Masalahnya adalah, polisi menemukan surat ini dalam laci kamar Bapak Rama. Silakan perhatikan bagian bawah. Apakah Anda dapat membaca nama-nama, inisial segel, dan tanda tangan yang tertera di situ? Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil adalah: mereka saling mengenal, Raden Saleh dan pemberontak itu.” “Mengejutkan! Nyaris tak mungkin,” Residen Hoogeveen menggelengkan kepala. “Bagaimana mungkin pesolek manja itu ada di belakang peristiwa berdarah ini?” “Ya, mungkin mengejutkan. Tapi mari, jangan lupakan dari mana orang ini berasal, Heer. Sebelum datang ke sini, saya sempat membaca M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend4 i beberapa arsip yang berhubungan dengan pemberontakan bumiputra. Salah satunya yang terbesar, tentu saja Perang Jawa,” Asisten Residen Batavia bangkit dari duduk, lalu berjalan perlahan mendekati mimbar. “Dan orang ini, pesolek manja menurut istilah Anda tadi, adalah kemenakan Haryo Suro Adimenggolo, Bupati Terboyo pada masa Perang Jawa yang hampir berhasil menggalang bantuan fisik kepada pasukan Diponegoro. Bagi Anda yang belum tahu, biarlah saya jelaskan di sini. Bupati Terboyo adalah teman dekat Baron van der Cappellen. Fasih berbahasa Inggris, Belanda, serta Melayu. Bersama seorang anaknya, ia pernah ditunjuk menjadi asisten Tuan Thomas Stamford Raffles dalam proyek penerjemahan kitab hukum dan adat-istiadat Melayu. Koneksinya di lingkaran sosial Eropa tak sedikit, dan rata-rata punya jabatan tinggi. Setelah Inggris pergi, tidak kita usik sedikit pun harta maupun kedudukannya. Dengan segala kelebihan yang diberikan oleh pemerintah ini, seharusnya ia berutang nyawa. Tetapi lihatlah yang ia berikan kepada kita sebagai rasa terima kasih: Pengkhianatan. Pembelotan. Tusukan dari belakang!” Di bawah naungan sepasang alis lebat yang bertaut rapat, mata Asisten Residen Batavia sekilas tampak seperti menyala. “Yang Mulia, Heer Residen,” lanjutnya. “Saya hanya ingin mengatakan bahwa sejarah kadang dapat berulang dengan kemiripan luar biasa. Dan adakalanya tidak dibutuhkan waktu lama untuk menyaksikan pengulangan itu.” Hening. Residen Hoogeveen menundukkan kepala, menarik-narik kancing emas di lengan jasnya dengan wajah keruh. “Ketika ia masih tinggal di Batavia, aku pernah datang ke rumahnya,” kata Residen Hoogeveen lirih, seolah berbicara untuk dirinya sendiri. “Kalau tak salah, malam tahun baru 1861. Meriah sekali. Ada dansa sampai tengah malam, kembang api raksasa, serta permainan ketangkasan. Pesta yang sangat bermartabat, sarat dengan suasana intelektual. Pendeknya, acara terbaik yang pernah kukunjungi di Batavia. Aku berbincang cukup lama dengan tuan rumah bersama istrinya dan…,” ia berhenti sebentar, dilihatnya seisi ruangan menatap kepadanya dengan air muka beragam. Residen Hoogeveen cepat menangkap gelagat. Ia membersihkan tenggorokan sebelum melanjutkan: “Dengar, saudara-saudara. Pembantaian di Tambun ini adalah peristiwa biadab yang mencoreng wibawa pemerintah. Kita punya kewajiban mulia untuk menegakkan Kuda Pacu dan Bagal 5 hukum. Mengembalikan keamanan. Dan sama seperti Anda, pikiran serta hatiku ada bersama para keluarga korban. Jangan pernah sangsikan itu. Tapi pahamilah, yang ingin kusampaikan ini adalah rangkuman pengamatan pribadiku terhadap Raden Saleh. Aku mengenalnya cukup dekat. Kurasa juga lebih lama dibanding Anda semua. Dan dengan latar belakang studiku sebagai ahli ilmu jiwa, aku harus mengatakan bahwa tuduhan makar yang dialamatkan kepadanya sungguh memerlukan kajian ulang yang lebih dalam dan menyeluruh.” Tak ada tanggapan. Semua tampak menunggu kelanjutan penuturan Hoogeveen. Di baris tempat duduk kedua, Van Musschenbroek, Asisten Residen Bogor, memutar-mutar jumbai tali tirai. Pikirannya tumpul. Terbayang perjumpaannya dengan Raden Saleh lima bulan yang lalu. Tegur-sapa yang santun, keluasan wawasan, pembicaraan tentang dunia seni yang sangat mencerahkan. Ah, mungkinkah orang semacam itu bisa merancang kekejian tak terperi seperti yang dituduhkan? “Saudara-saudara,” kini Hoogeveen bangkit dari tempat duduk lalu perlahan menghampiri Asisten Residen Batavia yang masih berdiri di podium. “Memang benar, ia kemenakan seorang pemberontak. Memang benar, ia pengagum Diponegoro. Bahkan istri keduanya sekarang ini pun kudengar masih punya pertalian darah langsung dengan Diponegoro. Selain itu aku juga sepakat bahwa hadiah maupun gelar tak bisa menjadi jaminan kesetiaan golongan pribumi. Tetapi, bagaimana dengan pribumi yang sejak remaja telah mengenyam pergaulan, budaya, serta menyantap hidangan Barat? Bukan sekadar mengenal, tapi hidup, bergerak, serta bernafas di sana? Di tanah Eropa. Di Belanda, Jerman, Prancis, Italia. Mijn God, tahukah Anda, orang ini melihat langsung perang kemerdekaan Belgia, sekaligus menjadi saksi Revolusi Februari di Prancis, sarapan semeja dengan Ratu Victoria, berburu kijang bersama Pangeran Albert, bertukar pikiran dengan penulis, pemusik, pematung, serta pelukis dunia yang bahkan mengeja nama mereka dengan benar pun belum tentu bisa kulakukan. Ke mana pun ia bergerak, lingkungan penuh keagungan turut bergerak bersamanya. Berpihak kepadanya.” “Lantas, tahu dirikah orang ini? Apa yang telah ia lakukan bagi pemerintah Belanda, khususnya di Hindia, sebagai balas jasa? Pasti halhal semacam itu yang memenuhi benak Anda semua, bukan? Saudarasaudara, terutama Anda, Heer,” Hoogeveen melirik Asisten Residen Batavia. M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend6 i “Dari arsip yang pernah kubaca, sekembali dari Eropa ia telah membuktikan pengabdiannya dengan turut menjadi pendiri sekaligus donatur tetap untuk Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde. Dan bagi Anda yang pernah berkunjung ke kebun binatang mini di Cikini, ketahuilah bahwa tanah luas milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weterschappen itu adalah sumbangan tak ternilai dari Raden Saleh untuk masyarakat ilmiah Batavia. Ia juga memelopori penggalian fosil, penyelamatan naskah-naskah asli Hindia yang sangat kita perlukan untuk lebih mengenal peradaban lokal. Nah, Saudara-saudara, marilah kita sama-sama membuka pikiran. Mungkinkah orang seperti ini mau mencampakkan peradaban tinggi yang telah digenggamnya, harga dirinya, reputasinya, untuk sebuah pemberontakan liar yang tidak memiliki nilai tambah bagi kemuliaan hidupnya? Masuk akalkah?” “Rasanya ada yang terlewat, Heer.” Tiba-tiba Asisten Residen Batavia menyela. “Balas jasa lain yang pernah ia lakukan adalah menikahi seorang wanita Eropa kaya. Menutup kesempatan bujanganbujangan Eropa di Hindia untuk menjadi orang kaya.” Hadirin tertawa. Beberapa di antara mereka bertepuk tangan. Residen Hoogeveen tersenyum mangkel. “Ayolah Heer, kita semua tahu, mereka sudah bercerai tujuh tahun yang lalu. Bahkan seperti kataku tadi, Raden Saleh telah menikah lagi dengan seorang bangsawan Jawa yang dikenalnya saat melakukan lawatan kesenian ke Yogyakarta, meninggalkan istana megahnya di Cikini, kemudian pindah ke Buitenzorg sini. Anda mengincar Nona Winckelhaagen? Banyak kesempatan sekarang, Heer, asalkan sanggup bersaing dengan bangsawan Eropa. Kabar terakhir yang kudengar, Nona Winckelhaagen memutuskan untuk tidak kembali ke Hindia setelah lawatan terakhirnya ke Eropa tahun lalu. Oh ya, jangan lupa, untuk merebut hati Nona Winckelhaagen kurasa sebaiknya Anda harus mampu melukis atau bicara dalam lima bahasa seperti ilmuwan pesolek yang sangat kaubenci itu.” Hadirin kembali tergelak. Asisten Residen Batavia bersungut. “Anda bebas memperolokku, Heer. Tapi Tuhan tahu, aku hadir di sini semata untuk menjalankan tugas kecilku sebaik-baiknya.” “Hei!” kali ini, tak terbendung, Residen Hoogeveen membentak seraya mengangkat alis. “Kita semua sedang berusaha menjalankan tanggung jawab. Telah kukatakan bahwa aku tidak akan melindungi tersangka. Silakan jalankan tugas sesuai hukum. Tulis surat panggilan! Kuda Pacu dan Bagal 7 Kirim kurir! Minta dia menemui kita di sini besok pagi. Kita periksa dia sesuai prosedur. Aku juga akan keras, sangat keras, kepada Raden Saleh bila berhadapan dengannya sebagai penyidik besok. Semua pandanganku tadi hanya sekadar informasi tambahan agar di belakang hari kita tidak memperoleh masalah bila ia terbukti tidak bersalah. Sekarang kita istirahat. Besok pagi tugas berat menanti.” “Saya akan bertahan di sini hingga Tuan Jaksa tiba, Heer.” Agen Van Sprew mengangguk. *** Matahari Buitenzorg terlambat muncul pagi ini, membuat udara tetap dingin walau jarum arloji telah menunjuk angka delapan. Dari kaca jendela kereta yang berkabut oleh embusan napas, Raden Saleh mengintip. Tiang gapura hijau tua penanda arah masuk penginapan besar di Tajur baru saja berlalu dari relung mata. Itu artinya ia harus segera bersiap turun menemui Residen Batavia HJC Hoogeveen yang kemarin petang menyampaikan undangan mendadak untuk sebuah pertemuan penting menyangkut tanggung jawab Raden Saleh sebagai salah seorang tokoh masyarakat di Buitenzorg. “Lekas bawa turun oleh-oleh untuk Tuan Residen,” Raden Saleh mengibaskan tangan ke arah pengiring kereta yang membukakan pintu untuknya, segera setelah kereta berhenti di muka penginapan. Seraya merapikan destar, Raden Saleh melirik ke beranda. Tampak Residen Hoogeveen tegak menanti dalam seragam putih bersama Asisten Residen Buitenzorg, Asisten Residen Batavia, seorang jaksa, dan seorang agen polisi. “Goedemorgen, heer Residen, goedemorgen heeren,“ Raden Saleh membungkukkan badan sedikit, menyapa Residen lalu berpindah menatap orang-orang di sekitarnya satu per satu seraya mengantar tangan kanannya ke arah Hoogeveen. Tapi tak ada genggaman hangat yang menyambut. Bahkan salamnya pun tak berbalas. Agak gugup, Raden Saleh mengangkat kepala dan terkejut melihat tarikan dagu Residen yang sangat kencang. Lebih terkejut lagi saat sebuah suara menggeledek tiba-tiba muntah dari bibir di atas dagu itu, mengarah langsung kepadanya: “Ya, Raden Saleh. Sesungguhnya aku tidak mengharapkan kowe yang berada di belakang semua ini!” M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend8 i Astaga! Kalimat itu, alangkah kasarnya. Dan diucapkan bukan dalam bahasa Belanda, melainkan dalam bahasa Melayu, seperti yang biasa diucapkan para tuan terhadap pegawai rendahan. Sesaat sebelum gaung bentakan itu menghilang, agen polisi yang semula berdiri di dekat Residen tiba-tiba melompat ke belakang punggung Raden Saleh dalam posisi siaga penuh. Pada saat yang sama, dari tempat kereta dipinggirkan, terdengar kegaduhan. Tampak sais kereta dan pengiringnya meronta-ronta menghadapi enam opas yang menelikung dan mengikat kedua orang itu dengan tali Raden Saleh melempar pandangan kepada Residen. “Heer Residen, apa arti semua ini?” serunya dengan panik. “Diam! Lekas masuk!” Residen memberi isyarat. Agen Van Sprew mendorong Raden Saleh agak keras, membuat tubuh langsing itu nyaris tersungkur. “Heer Residen, ini sangat tidak pantas. Sangat tidak bisa diterima. Saya keberatan. Perlakuan apa ini? Saya protes!” suara Raden Saleh berubah dari keras menjadi serak. Jantungnya mulai berdebur tak terkendali. Residen beserta pengikutnya tidak menoleh sedikit pun sampai tiba di ruang tengah tempat mereka mengadakan rapat kemarin petang. Semua segera menarik kursi, membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran, di atas sebuah kursi tanpa sandaran, Agen Van Sprew memaksa Raden Saleh duduk. Raden Saleh masih berteriak-teriak sebentar sebelum akhirnya terdiam saat dilihatnya Residen mulai angkat bicara, masih juga dalam bahasa Melayu. “Nah, Raden. Sekarang ceritakan kepada kami, bagaimana Anda menghasut orang-orang sekitar kampung Ratu Jaya untuk melakukan penyerangan biadab di Tambun. Dan tolong jangan berbelit-belit. Kesabaran kami pagi ini tipis sekali.” “Saya sama sekali tidak paham yang Anda katakan, Heer. Tuduhan apa ini? Tidakkah sebaiknya Anda segera menjelaskan semua duduk perkara agar saya bisa mengikuti, memahami, sekaligus menjawab pertanyaan Anda yang sudah sangat di luar batas ini?” “Di luar batas? Sesungguhnya tanpa perlu repot-repot kami panggil ke sini, bisa saja Anda langsung kami tangkap, lalu kami jebloskan ke penjara. Tapi, baiklah. Tuan Jaksa, dan Agen Van Sprew,” Kuda Pacu dan Bagal 9 Residen mengangguk ke kanan. “Berikan laporan kemarin, biar dibaca olehnya. Berikan pula bukti akta jual beli itu.” Nyaris tanpa kesopanan, agen polisi itu mengulurkan setumpuk catatan kepada Raden Saleh. Tak ada yang bicara ketika Raden Saleh mulai membaca. Ketukan bandul jam dinding di ujung ruangan yang biasanya luput dari tangkapan telinga, kini terdengar serupa tumbukan gada di atas jelai-jelai besi membara yang baru keluar dari tanur, memberi pengaruh buruk bagi detak jantung semua yang berkumpul di situ. “Fitnah! Fitnah! Ini semua fitnah!” Sejurus kemudian suara Raden Saleh menguasai ruangan. “Bukan sekadar salah sasaran. Ini sudah masuk ke wilayah fitnah besar,” sambungnya. “Begini saja, Heer Saleh,” Van Musschenbroek yang duduk di sebelah Hoogeveen mencoba bersikap lembut. “Kami berjanji, untuk menit-menit berikutnya akan lebih hati-hati. Sedapat mungkin akan kami hindari kalimat-kalimat bernada tuduhan. Tetapi tolong ceritakan kepada kami perlahan-lahan, di mana Anda berada seminggu sebelum hari penyerangan itu?” “Heer Musschenbroek,” Raden Saleh mengangkat wajah sambil melipat tangan di dada. “Anda adalah Asisten Residen Buitenzorg, pejabat pertama yang menerima kedatangan saya sebagai warga baru di Buitenzorg lima bulan yang lalu. Tiga bulan setelah itu, tepatnya setelah seluruh bangunan rumah saya rampung, Anda datang memenuhi undangan makan malam di kediaman saya, bukan? Pada kesempatan itu pula saya minta izin kepada Anda agar diperbolehkan melakukan kunjungan selama beberapa hari ke rumah Heer Tollens di Kota Batu, membuat sketsa wajah beliau. Pada lawatan itu, saya berangkat bersama istri dan keponakan saya tercinta. Sebulan kemudian, saya mengulangi kunjungan untuk keperluan menyesuaikan baju dan warna kulit Heer Tollens. Sama seperti sebelumnya, saya ditemani istri serta keponakan. Di luar rencana, Heer Tollens minta agar diberi kesempatan melihat bagaimana saya bekerja, akhirnya kami terpaksa memperpanjang waktu kunjungan, dan baru tiba kembali di rumah minggu lalu. Coba pikirkan, apabila saya terlibat, bagaimana mungkin saya bisa menggerakkan demikian banyak orang dalam waktu hanya sepekan?” “Heer Tollens, pengacara dan jurnalis itu?” Hoogeveen memotong. Van Musschenbroek mengangguk pelan. M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend10 i Raden Saleh berhenti sejenak, dengan gelisah ditatapnya Hoogeveen dan Van Musschenbroek bergantian sebelum melanjutkan bicara: “Bila Anda semua berkenan, izinkan saya menggarisbawahi beberapa fakta. Pertama, Kota Batu adalah wilayah terjauh yang pernah saya capai selama lima bulan pertama kehadiran saya di Buitenzorg. Saya belum sempat melakukan kunjungan ke tempat lain. Terlalu sibuk di studio, mengejar tenggat untuk menyelesaikan beberapa lukisan, termasuk lukisan wajah Heer Tollens. Dengan kata lain, saya tidak pernah tahu ada wilayah bernama Ratu Jaya di Buitenzorg. Bagaimana mungkin saya bisa menghadiri acara pernikahan orang yang tidak saya kenal, di tempat yang juga belum pernah saya ketahui? Kedua, saya punya sejumlah saksi. Anda boleh memeriksa istri saya secara terpisah. Akan lebih baik lagi apabila Anda dapat bertemu dengan Heer Tollens. Kalau kelak terbukti saya melangkahkan setengah kaki saja, saya ulangi, setengah kaki lebih jauh dari tempat yang saya sebutkan tadi, Anda boleh menyebut saya sebagai kepala pemberontak. Dan Anda boleh menjebloskan saya dalam tahanan saat itu juga. Namun bila tidak terbukti, saya minta nama baik saya dipulihkan segera.” “Baiklah. Atas nama keagungan hukum pemerintah Hindia, kami akan menggeledah rumah Anda, memeriksa seluruh surat, dan menanyai siapa pun di sana yang kami anggap bisa memberikan keterangan. Termasuk istri Anda. Tuan-tuan, silakan berkemas,” Hoogeveen melirik kepada ajudannya dan semua orang dalam lingkaran. Ajudan Hoogeveen bergerak cepat. Sebentar kemudian di halaman penginapan telah terbentuk sebuah iringan kereta. Paling depan adalah kereta yang ditumpangi Residen Hoogeveen bersama ajudannya, disusul kereta Raden Saleh yang berisi pemilik kereta, Agen Van Sprew, serta jaksa penuntut (tentu saja setelah kusir dan pengiring Raden Saleh dibebaskan). Paling akhir adalah kereta yang ditumpangi oleh ketiga asisten residen. Lantas, seperti berlomba, ketiga kereta dipacu kencang menuju kediaman Raden Saleh, menerobos udara tengah hari yang mulai beranjak hangat. Sayang, tak sehangat wajahwajah yang disaksikan Raden Saleh di dalam kereta. Sampai tujuan, Raden Saleh tercekat melihat pemandangan yang terhampar di depan. Halaman rumahnya yang luas asri tampak porakporanda. Pot-pot tanaman berikut gazebo bambu tempat ia biasa tetirah sore hari telah rata dengan tanah. Di sekeliling rumah digali parit-parit pertahanan. Dan di dalam parit tersebut, sejumlah tentara berjaga Kuda Pacu dan Bagal 11 dengan bayonet terhunus atau posisi siap tembak. Agak ke kanan, di sebuah tanah lapang yang merupakan ujung perbatasan rumah itu, ratusan warga desa berdiri menonton. Wajah-wajah mereka menyiratkan tanda tanya besar. Juga rasa takut atas terhunusnya banyak senjata. Lupa terhadap tata krama, Raden Saleh lompat dari kereta, meninggalkan dua tamunya, menghambur masuk rumah, dan menjumpai istrinya, Raden Ayu Danudirejo yang sedang menangis ketakutan bersama pembantu-pembantu wanitanya di ruang tengah. “Cukup sudah,” sambil menahan tubuhnya yang gemetar dibakar amarah, Raden Saleh menoleh kepada Residen Hoogeveen yang berdiri di muka pintu. “Silakan Tuan bongkar semua yang ada di sini, bawa saja semua yang Anda anggap perlu, tapi jangan ganggu lagi keluarga saya. Sudah cukup kiranya Anda semua mempermalukan saya. Membuat saya benar-benar tampak seperti seorang penjahat besar di depan orangorang desa itu, dan terutama di depan istri saya. Beginikah Pemerintah Hindia membalas kesetiaan dan semua jasa saya?” Residen Hoogeveen tak menjawab. Dengan sebelah tangan tersimpan di saku celana, ia melangkah perlahan ke tengah ruangan, menarik sebuah kursi, lalu berpaling kepada rombongannya. “Tuan-tuan,” katanya sambil menyulut pipa. “Silakan jalankan tugas Anda.” Selama dua setengah jam, sambil duduk menemani Residen dengan kopi panas dan penganan kecil, Raden Saleh menyaksikan bagaimana seluruh lemari, laci, dan tempat-tempat yang diduga digunakan untuk menyimpan surat-surat atau dokumen, digeledah habis. Sewaktu akhirnya salah seorang petugas datang menghadap Residen untuk menegaskan bahwa mereka tidak menjumpai barang yang mencurigakan, Raden Saleh menoleh kepada tamunya seraya berkata lantang: “Lihat, Tuan! Sekali lagi, tolong lihat kejadian ini dengan mata hati yang bersih. Mungkinkah saya, yang sudah 23 tahun tinggal di lingkungan tinggi lagi terpelajar di Eropa mau merendahkan diri, bergaul dengan orang-orang murahan semacam itu untuk melawan Gubernemen yang bahkan sampai hari ini telah menganugerahi saya kemurahan hati begitu besar?” Residen membisu. “Siapa pun yang mengenal saya cukup dekat, pasti akan sepakat bahwa hal buruk semacam ini tak mungkin saya lakukan. Tidak, Tuan.” Raden Saleh menggerakkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan. “Saran M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend12 i saya, pulang dan istirahatlah, Tuan. Masih banyak tugas yang lebih mulia ketimbang menggeledah rumah orang yang tak punya dosa.” “Saran saya, untuk saat ini sebaiknya Anda diam!” Residen membanting pipa rokoknya ke atas meja. “Dengar, Raden! Anda harus kami bawa ke Depok. Ada beberapa pemberontak yang kami tawan di sana. Akan kupertemukan kau dengan mereka. Kita lihat, seberapa jauh mereka mengenal Anda.” “Mempertemukan saya dengan mereka? Untuk apa? Bagaimana kalau ternyata ini sebuah persekongkolan besar untuk menjatuhkan nama baik saya? Bisa saja mereka mengaku kenal,” Raden Saleh meradang. “Tapi, baiklah. Mengapa harus takut menyaksikan kebenaran terungkap? Sekarang saja kita berangkat, Tuan. Tapi dengan satu syarat: keluarga saya harus ikut. Tak mungkin saya meninggalkan istri yang sedang histeris ini.” Residen menatap mata Raden Saleh sebentar. “Baiklah, silakan bersiap,” katanya sambil mengayun langkah menuju pintu keluar. Tak lama kemudian, tiga kereta besar dengan urutan sama seperti saat kedatangan tadi, meluncur cepat ke arah Depok. Raden Saleh melirik arlojinya. Pukul lima sore. Kapan kiranya hari buruk ini berlalu? Ia menoleh ke samping. Raden Ayu Danudirejo, tampak bersandar dengan tegang. Kedua matanya sembap. Tangan kanannya erat mencengkeram jok. Sesekali bahunya terguncang, terdorong isak. “Sabarlah, Diajeng. Mereka akan segera tahu bahwa kita tak bersalah. Maaf, telah menyeretmu ke dalam urusan pelik ini,” perlahan Raden Saleh menarik tangan kiri istrinya ke atas pangkuan, lalu digenggamnya telapak tangan kecil itu erat-erat, seolah ingin menyalurkan kehangatan dan rasa tenteram ke situ. Wahai, telapak tangan ini. Alangkah berbeda dengan milik Constanzia. Pada telapak Constance, begitu mudah ditemukan jejak kematangan jiwa, kepercayaan diri yang tinggi, dan kepastian menjalani hidup. Sementara pada Raden Ayu Danudirejo, telapak itu seperti sebuah lukisan panjang tentang ketidakberdayaan, kepasrahan, ketergantungan, serta kerapuhan hati. Empat tahun lalu, dalam sebuah perjalanan kesenian ke Yogyakarta, Raden Saleh berkunjung ke keraton, dan menjadi akrab dengan Sultan Hamengku Buwono VI, serta patihnya, Pangeran Danurejo. Muhibah ini diulanginya dua tahun kemudian. Kali ini ia memutuskan untuk menetap selama dua tahun di lingkungan keraton. Ya, irama hidup yang tenang, dekat dengan alam, selalu membuatnya betah. Dan Kuda Pacu dan Bagal 13 Yogyakarta sungguh mengingatkannya pada Coburg: ada keraton besar, sebagai wujud peradaban tertinggi, yang berjarak cukup dekat dengan hutan dan gunung. Sungguh, sebuah wisata kesenian yang mencerahkan. Membuatnya bersemangat menyapukan kuas, menciptakan dua buah lukisan dahsyat tentang Gunung Merapi yang sedang memuntahkan lahar, dilihat saat siang dan malam hari. Serta beberapa lukisan potret warga keraton. Lalu pada suatu sore yang rinai, di teras rumah Patih Danurejo, ketika aliran hangat teh pekat yang dituang dari poci tembikar menjadi tali pengekal persahabatan, bertumbuklah matanya dengan sepasang mata indah dari seorang perempuan kecil berdahi tinggi yang mengantar kudapan. Tidak biasanya seorang putri bangsawan mengantar kudapan. Raden Saleh tahu, sebuah rencana besar tengah digelar oleh tuan rumah. Diam-diam Raden Saleh merasa tersanjung. Dengan tatapan anggun yang berasal dari mata sebening itu, sang putri seharusnya lebih pantas diperebutkan oleh para raja besar dalam sebuah sayembara akbar. “Ini keponakan saya tercinta, Raden Ayu Danudirejo,” Patih Danurejo tersenyum. “Ibu gadis ini, ibu saya, dan ibu Sultan memiliki ayah yang sama.” Entah apa yang diucapkan Raden Saleh setelah itu. Yang jelas, dalam perjalanan kembali ke Batavia, sang putri telah berada satu kereta dengannya, dan resmi menyandang nama Bustaman di belakang namanya. Bersama wanita itu, ia menempati rumah besar bergaya tradisional di Buitenzorg, dengan pekarangan yang luas, menghadap ke arah Gunung Salak. Rumah itu dahulu milik Sultan Tamjidillah, penguasa kerajaan Banjarmasin yang diasingkan ke Buitenzorg. Kebetulan Sultan juga memiliki selera seni yang tinggi. Meski hanya terbuat dari kayu jati, rumah itu sarat ornamen di setiap sudutnya. Paling menonjol pada rangkaian hiasan itu adalah motif ukiran pada pintu, jendela, dan gelagar rumah, yang merupakan paduan sempurna antara gaya ukir Timur Tengah dan Sunda. Namun yang membuat Raden Saleh kagum adalah lokasinya. Tanah yang dipilih untuk mendirikan rumah berada di atas sebuah bukit. Dari teras rumah, terhampar pemandangan agung lembah Cisadane, dengan sungai yang panjang berliku. “Ini surga kecil kita, Diajeng,” kata Raden Saleh kala itu. “Tempat kita menjalani hidup tenang, jauh dari keramaian politik Batavia. Berdua, kita akan menyaksikan anak-anak yang dititipkan Tuhan kepada kita M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend14 i datang dan tumbuh menjadi manusia-manusia yang lebih baik dari kita, di zaman yang lebih baik dari kita.” Tetapi hingga sekarang, anak-anak itu belum datang juga. Mungkin tidak akan pernah. Seorang dokter Belanda menjelaskan sebuah teori baru tentang gagalnya pembentukan janin di rahim istrinya. Namun Raden Saleh menolak saran dokter tersebut untuk pemeriksaan lebih lanjut. “Anak yang lahir dari rahim ibunya adalah bagian dari rencana Allah. Kita lihat saja satu-dua tahun lagi,” ujarnya. “Bila tetap seperti ini, dengan izin Yang Kuasa, aku akan mengangkat anak dari sanak-saudara kami. Tentu saja, dalam segala keterbatasan kemungkinan, kami berdua tetap mengharapkan kedatangan anak-anak kami sendiri.” Ternyata yang datang justru masalah besar ini. Raden Saleh menggelengkan kepala. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Belanda di Hindia seolah sengaja bersilang kepentingan dengannya? Mendadak pintu kereta terbuka. Muncul wajah Agen Van Sprew yang sejak tadi pagi telah memicu rasa mual di perut Raden Saleh. “Silakan turun. Kita sudah sampai,” seolah tahu pikiran Raden Saleh, polisi itu berusaha bersikap ramah. Mereka berjalan beriringan menuju rumah besar yang tampaknya berfungsi sebagai sekolah misionaris. Bangunan itu terdiri dari tiga ruangan yang saling bersambung, dan dinding yang menghubungkan ruang-ruang itu memiliki pintu. Seorang pastor tua mengantar rombongan ke kelas yang terletak di bagian tengah. Rupanya ruang kelas yang paling luas ini sudah diubah menjadi kamar istirahat. Beberapa buah tempat tidur lipat, lengkap dengan tirai-tirai penyekatnya, tampak tersusun rapi. Residen dan para asistennya masuk ke ruang itu, sementara Raden Saleh beserta istri digiring oleh Agen Van Sprew dan dua orang opas ke ruang di sisi kanan. “Silakan istirahat. Besok, Anda akan dipertemukan dengan beberapa pemberontak yang berhasil kami tangkap. Saat ini mereka masih dalam perjalanan. Semua 26 orang, terbagi menjadi 3 kelompok, dan akan dikumpulkan di sana,” Van Sprew mengarahkan telunjuknya ke kelas paling ujung. “Apabila besok Anda dipanggil menghadap, mulamula Anda harus mengenakan baju sehari-hari, setelah itu barulah baju kebesaran Anda, lengkap dengan semua tanda jasa yang Anda miliki. Kita lihat, apakah ada di antara mereka yang mengenali Anda.” Kuda Pacu dan Bagal 15 Van Sprew membetulkan letak topi laken di atas kepalanya, lalu bergegas pergi. Kedua opas segera mengambil tempat untuk berjaga di depan kamar. Raden Saleh berdiri termangu. Ketika pintu ditutup, jatuhlah air mata ke atas pipinya. *** Di ruang paling kiri, sore keesokan harinya, Residen Hoogeveen tegak berdiri dengan tangan terkait ke belakang. Ketiga asisten residen, jaksa penuntut, dan Agen Van Sprew hilir-mudik di belakangnya. Di ruangan itu, di bangku-bangku yang biasa digunakan para siswa misionaris, berkumpul sejumlah orang yang dituduh sebagai pemberontak. Tangan dan kaki mereka dirantai. Wajah mereka kuyu. Mungkin karena tak sempat beristirahat lama setelah berjalan kaki semalam suntuk dari Tambun. Tidak semuanya lelaki. Seorang wanita tua dengan raut wajah keras justru duduk paling depan. Tatapannya buas, seperti harimau lapar yang siap melumat sepuluh opas bersenjata yang berdiri siaga di sekeliling ruangan. “Engkau lebih paham bahasa Melayu,” Residen Hoogeveen menoleh kepada Van Sprew. “Sampaikan yang harus mereka lakukan. Lalu panggil satu per satu untuk menemui kami di ruang tengah. Beri kami dua orang opas untuk berjaga-jaga. Nah, Tuan-tuan, mari!” Diikuti stafnya, Hoogeveen masuk ke ruang tengah, lalu duduk berjajar di meja panjang. Tak lama, masuk seorang pria tak berbaju. Tubuhnya kokoh, tetapi tak terlacak semangat hidup pada sepasang matanya. “Namamu Ki Rebo, bukan? Menurut catatan, kowe tertangkap saat penyerangan ke Tambun, bukan di hutan. Betul?” Van Sprew bertanya dalam bahasa Melayu. Ki Rebo mengangguk. “Jadi tentunya kowe tahu persis, siapa yang memimpin penyerangan?” “Tidak tahu,” Ki Rebo menggeleng. “Malam itu saya dan yang lain diajak pergi berjuang ke Tambun.” “Berjuang? Memperjuangkan apa?” Orang itu menunduk, tak bersuara. “Kowe dan teman-temanmu pergi menyerang setelah lebih dahulu mengikuti acara di pondok Bapak Rama. Acara apa itu? Kowe pernah M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend16 i bertemu orang bernama Bapak Rama? Apakah dia ikut menyerang malam itu?” “Agen Van Sprew,” Residen menyela. “Satu per satu. Dia bingung.” “Dia seorang santri, Heer. Bukan rakyat jelata. Dia tidak akan bingung,” Van Sprew terbatuk. “Dan memang sengaja saya tanya bertubi-tubi agar dia tertekan.” Residen mengangkat bahu. “Ya sudah. Lanjutkan saja.” “Terima kasih, Heer.” Van Sprew menoleh kembali kepada si tawanan. “Ayo, mana jawabanmu?” “Tidak tahu, Tuan,” Ki Rebo mulai gelisah. “Malam itu saya membawa delapan orang santri dari desa saya untuk ikut acara zikiran di padepokan itu. Zikiran dilaksanakan beberapa minggu setelah acara pernikahan adik ipar pemilik padepokan. Kami sudah sering mendengar kegiatan agama di tempat itu. Tetapi baru malam itu kami pergi ke sana. Setiba di sana, suasana sangat ramai. Rupanya banyak yang memilih tidak pulang sejak menghadiri acara pernikahan besar itu.” “Maksudmu, kowe dan teman-temanmu termasuk yang datang setelah acara pernikahan selesai?” “Ya, Tuan. Kami tidak hadir di acara pernikahan. Hanya ikut acara zikiran. Setelah makan malam, ada khotbah yang membuat kami bersemangat mengikuti orang yang naik kuda putih di depan, memakai baju bagus, dan selalu dikawal ketat. Dia yang memberi perintah. Tetapi saya tidak tahu, orang itu Bapak Rama atau bukan. Kami belum pernah diperkenalkan kepada beliau.” “Aneh sekali. Kalian datang ke pondok itu, tapi tidak kenal tuan rumah. Baiklah, setidaknya kowe ingat mukanya?” Tak terdengar jawaban. Van Sprew menggerakkan dagunya kepada seorang opas, “Bawa beliau ke sini,” katanya sambil menunjuk kamar Raden Saleh. Sebentar kemudian, opas itu kembali bersama Raden Saleh yang mengenakan surjan dan ikat kepala hijau. “Apa ini orangnya?” Van Sprew berkata kepada Ki Rebo sambil menunjuk Raden Saleh. Pria itu memandang Raden Saleh agak lama. Kemudian menggeleng. “Silakan pakai baju yang lain,” Van Sprew melirik Raden Saleh. Residen mengawasi Raden Saleh hingga lenyap ke balik pintu, lantas menarik nafas panjang. “Mijn God, ini akan menjadi malam yang Kuda Pacu dan Bagal 17 sangat melelahkan. Dan sungguh, saya khawatir kita telah mencurigai orang yang keliru.” “Apa boleh buat, Heer,” jaksa penuntut menggeser tempat duduknya, meluruskan kaki. “Boleh jadi orang ini memang tidak mengenal si pemimpin pemberontak dari wajahnya. Kita ingat catatan Perang Jawa dahulu. Hampir semua orang Jawa pernah mendengar nama Diponegoro. Pernah mendengar kisah pahlawan berbaju gamis dan bersorban, menunggang kuda putih, tetapi hanya sedikit yang pernah melihat langsung wajahnya.” Residen baru akan mengatakan sesuatu ketika pintu sebelah kanan terbuka kembali. Raden Saleh masuk dalam balutan baju kebesarannya: celana frock hitam dengan pelisir keemasan, ikat kepala batik, jas biru tua berkerah tinggi penuh hiasan bordir gaya militer, lengkap dengan empat bintang jasa tersemat di dada kiri. “Bagaimana, Rebo?” Van Sprew menatap Ki Rebo dan Raden Saleh bergantian. Ki Rebo tak segera menjawab. “Saya tidak terlalu ingat, Tuan. Pakaiannya memang sangat mirip. Tetapi orang itu tidak memakai tanda jasa di dadanya.” “Rebo,” Van Sprew menggaruk kepalanya. “Apakah kowe tahu siapa tuan Jawa ini?” “Tidak tahu, Tuan,” “Baiklah, kembali ke tempatmu, Rebo,” Van Sprew menjentikkan jari kepada opas agar mengawal Rebo keluar, lalu berpindah bicara kepada Raden Saleh. “Silakan istirahat sebentar, Raden. Tak perlu berganti baju. Nanti pertanyaannya akan saya balik. Harap bersabar, kita masih harus mengulang adegan ini sebanyak dua puluh lima kali lagi.” “Untuk membuktikan kebenaran, sampai dunia berakhir pun saya akan bersabar, Heer,” dengan susah payah Raden Saleh berusaha tersenyum anggun meski ia tahu, harga dirinya sudah berantakan. Ternyata malam itu benar-benar menjadi malam teramat panjang bagi semua pihak. Sampai pukul sepuluh, mereka baru selesai menyelidiki enam belas orang. Rata-rata menjawab tidak mengenal Raden Saleh, atau tidak merasa ingat pernah melihat Raden Saleh di Tambun. Meski demikian, dua orang dari mereka dapat menyebutkan dengan tepat nama Raden Saleh. Salah satu dari dua orang itu bahkan menyatakan pernah datang ke kediaman Raden Saleh di Cikini dalam sebuah acara amal. M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend18 i Keesokan harinya, kembali acara penyelidikan digelar. Wanita berwajah keras di bangku terdepan yang kemarin belum mendapat giliran diperiksa, hari ini membuat geger. Ia menjerit-jerit histeris saat Raden Saleh muncul dengan baju militernya: “Aku tahu, engkau pasti ada di tengah kami! Tidak meninggalkan kami!” Namun saat Raden Saleh berteriak membela diri, wanita itu mendadak menarik tuduhannya. “Cahaya obor telah menipuku,” katanya. “Tidak, sekarang aku yakin, meski mirip, orang itu lebih kecil, dan suaranya lebih lantang dari tuan di depan ini. Tetapi siapa pun orang itu, ia seorang pemberani. Berjuang menegakkan keadilan!” Wanita itu segera diseret keluar oleh opas. “Aku bosan,” Residen menguap sambil mengangkat arloji rantainya. “Sudah pukul tujuh. Masih berapa orang lagi? Kita sudah memperoleh aneka jawaban, dan sebagian besar dari mereka memang terlibat. Tetapi tak ada yang benar-benar mendukung tuduhan bahwa Raden Saleh ada di antara mereka. Coba ingatkan aku, apa sebenarnya yang sedang kita cari?” Asisten Residen Batavia dengan kesal mengangkat kedua alisnya, “Kita sedang mencari pemimpin pemberontak, Heer. Orang keji yang telah memimpin puluhan orang untuk membantai sembilan jiwa tak berdosa. Jangan lupakan itu!” “Masih enam orang lagi, Heer. Kalau Anda letih, istirahatlah dulu. Ini memang pekerjaan yang bisa merontokkan pinggang,” Asisten Residen Buitenzorg, Van Musschenbroek menjawab lirih. Sesungguhnya ia berkata untuk dirinya sendiri. Sejak pagi tadi, encoknya kambuh. Ingin rasanya segera berendam air hangat berlama-lama. “Aku ingin kopi yang lebih pekat dari ini,” Residen menepuk pundak pelayan sekolah, sambil menunjuk cangkir kosong di meja. “Ada yang ingin tambah juga?” Beberapa orang terpikat usul Residen, namun saat pelayan membuka pintu untuk menyingkirkan cangkir, mendadak dari ruang samping terdengar keributan. Van Sprew, ditemani seorang opas melompat keluar dalam posisi siap tempur. Tak berapa lama, mereka masuk lagi bersama dua opas lain, mengawal seorang pribumi berambut panjang, yang berdiri dengan sangat tenang sambil menyembunyikan tangan kanan di balik baju hitam komprangnya. Semua pejabat segera melihat ada yang aneh di wajah orang tersebut. Kuda Pacu dan Bagal 19 “Mengapa memakai topeng? Buka topengmu!” hardik jaksa penuntut. “Ia salah seorang pemimpin pemberontak, Heer. Baru tertangkap subuh tadi di desa sebelah,” Van Sprew mengangguk kepada jaksa. “Namanya Basah Kolot, dan ia bersumpah akan menarik pelatuk revolver di balik bajunya bila kita memaksa membuka topengnya. Tapi tadi kita sudah mencapai kata sepakat: kalau dia mencoba mencelakakan kita dengan pistol itu, kepalanya akan remuk lebih dahulu.” “Mudah-mudahan dia cukup pintar untuk memegang teguh janjinya,” tukas jaksa sambil melirik senapan para opas yang terarah ke seluruh tubuh si tersangka. “Jadi kowe Basah Kolot?” tanya Residen, yang langsung diterjemahkan oleh Van Sprew ke dalam bahasa Melayu. “Kowe pemimpin pemberontakan malam itu?” “Saya tidak pernah menganggap diri saya pemimpin. Tetapi saya memang memegang amanah rakyat untuk berontak melawan ketidakadilan,” suara Basah Kolot terdengar ganjil dari balik topeng. “Apakah kowe yang dikenal dengan nama Bapak Rama?” “Jangan panggil saya dengan ‘kowe’. Saya orang merdeka, bukan budak. Lebih jauh lagi, saya seorang ningrat, sekaligus seorang ulama. Kalau Anda terus memanggil saya dengan ‘kowe’, saya tidak akan menjawab satu pun pertanyaan Anda.” “Berlagak sekali orang ini!” Van Sprew menggebrak meja, tapi langsung ditenangkan oleh Residen. “Baik, Kyai. Kami kabulkan permintaanmu,” Residen menarik pipa rokok dari sakunya. Kantuknya mendadak hilang. “Sekarang ceritakan siapa dirimu, dan mengapa menolak membuka topeng?” “Tidak perlu diributkan. Saya selalu bertopeng di muka orangorang yang belum saya kenal, atau tidak saya sukai. Soal nama, apa pentingnya nama? Saya punya banyak nama. Orang memberi banyak sebutan kepada saya: Pangeran Alibasah, Ratu Adil, dan banyak lagi. Bukan hak saya untuk menolak, apalagi kalau nama itu berguna untuk menggalang suatu tujuan yang baik. Tapi Anda benar, sayalah yang biasa dipanggil Bapak Rama.” “Tujuan baik, katamu. Menyerang dan membunuh orang itu baik?” tanya Residen. “Sembilan orang tewas malam itu. Bukan pejabat Belanda saja. Ada juga dokter Jawa. Bangsamu sendiri.” M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend20 i “Itu jumlah yang sangat sedikit dibandingkan pendahulu-pendahulu kami yang mati saat mempertahankan tanah-tanah leluhur mereka di sepanjang sungai Citarum dan Cisadane yang Anda rampok bersama para tuan tanah. Anda jadikan pabrik-pabrik. Tentang serangan, silakan lihat laporan polisi daerah. Serangan itu tidak mendadak. Mereka sudah kami peringatkan lebih dari sekali. Saat penyerangan pun, polisi sempat menghadang kami. Mengenai dokter Jawa yang ikut terbunuh, kurasa bukan salah kami. Mengapa ia ada di situ, bukan di tengah bangsanya?” “Siapa bilang kami merampok? Mereka sukarela menjual tanah mereka kepada kami, dan kepada para tuan tanah,” Residen mengepulkan asap pipanya. “Tentu saja. Pilihan apa lagi yang muncul di pikiran bila Anda dan keluarga Anda kelaparan, sementara utang Anda menumpuk?” pria bertopeng itu kedengaran geram. “Saya punya banyak saksi petani, dengan setumpuk kisah pedih tentang ayah mereka yang dahulu diperdaya oleh para tuan tanah. Dijerat utang, sehingga terpaksa melepas tanah mereka. Membuat kami sepakat mengatakan bahwa Belanda dan tuan tanah adalah setan besar, sumber malapetaka dan penderitaan kami.” “Hati-hati bicara!” Van Sprew memotong. “Ada jaksa penuntut. Semua perkataan Anda dicatat, dan bisa digunakan untuk memberatkan Anda di persidangan nanti.” “Saya tidak takut!” Pria bertopeng itu mengangkat dagu, membusungkan dada, tapi mengurungkan niat untuk berkacak pinggang. “Baiklah.” Jaksa penuntut membolak-balik catatan singkat yang tadi diberikan oleh seorang opas kepadanya. “Tanggal 16 Maret, Anda menggelar pesta pernikahan ipar Anda. Tapi gamelan dan ronggeng sudah beraksi dua hari sebelumnya. Kami menilai, semua memang sudah Anda rencanakan dengan matang. Lima ratus tamu datang ke tempat Anda dari Parung, Cibarusa, Bekasi, serta Tegalwaru. Dan khotbah Anda malam itu sangat memukau. Membakar semangat. Sehingga tanggal 5 April, orang-orang bersedia berhimpun kembali di padepokan untuk menyerang Tambun.” “Mata-mata Anda luar biasa,” Basah Kolot tertawa. “Sering saya berpikir, siapa pengkhianat yang menyusup dan merekam semua catatan tadi? Tapi begitulah yang terjadi. Kami menyerang malam hari, saat gerhana bulan yang telah lama diramalkan tiba. Kami mengambil keunKuda Pacu dan Bagal 21 tungan dari kepekatan malam. Setelah serangan dimulai, barulah obor kami nyalakan.” “Sekarang kami mau Anda menjawab jujur. Seseorang akan dibawa masuk ke sini. Katakan, apakah dia salah seorang pemimpin pemberontak juga, yang ikut bersama Anda malam itu,” Residen mengangguk kepada opas agar mempersilakan Raden Saleh masuk. Begitu Raden Saleh masuk, Basah Kolot terlonjak mundur. Pistol yang semula berada dalam genggamannya jatuh ke lantai. Salah seorang opas dengan sigap menendang pistol itu jauh-jauh. Seorang lagi yang lain, cepat menelikung Basah Kolot, sambil berusaha membuka topengnya. “Biarkan topengnya!” Residen Hoogeven membentak. “Aku sudah memberikan janjiku padanya.” Opas tadi melepaskan jepitan tangannya, mengurungkan tindakannya, lalu kembali ke posisi semula. Raden Saleh mengerutkan kening. Berusaha keras memahami adegan yang baru saja berlangsung di hadapannya. “Tak sangka, berjumpa lagi kita di sini, Raden,” Basah Kolot terkekeh-kekeh. “Lupa padaku? Terakhir bertemu, aku memakai topeng Kelana,” sambungnya sambil menurunkan topeng Togog yang sejak tadi menutupi wajahnya, tanpa terpaksa. “Astaga!” Raden Saleh terlihat sedikit gugup, tapi segera menguasai diri. “Kalian saling mengenal?” tanya Van Sprew, mewakili temantemannya yang masih terkesima melihat kemiripan wajah kedua orang yang berdiri di depan itu. Basah Kolot memutar pandangan ke arah Raden Saleh, lalu ke arah para pejabat. “Ya, kami saling mengenal,” katanya. “Kami pernah berjumpa dan bertukar cindera mata. Tetapi tuan ini tidak pernah ada pada malam penyerangan itu. Sayalah yang memimpin penyerangan, dengan kuda putih dan seragam militer seperti yang beliau kenakan saat ini, agar terlihat megah, membangkitkan semangat perjuangan petani-petani itu.” “Tetapi mengapa harus aku yang menanggung dosamu, Kisanak?” Raden Saleh menggeleng. Basah Kolot terdiam. Beberapa tambahan garis pada lipatan dahi menggambarkan keengganan untuk bicara lebih jauh. M. Iksaka Banu dan Kurnia Effend22 i Sesaat, ruangan dipenuhi dengung percakapan para pejabat. Hanya Van Sprew yang tak menggeser mata sedikit pun dari Basah Kolot. Pistol di tangannya juga tetap terkunci ke kepala tawanannya . “Tuan-tuan yang terhormat,” suara Raden Saleh membuat dengung berhenti. “Tuan-tuan sudah mendengar semuanya. Tanpa bermaksud menyita waktu berharga Anda, izinkan saya menyampaikan sesuatu.” Raden Saleh menarik nafas sebentar sebelum melanjutkan: “Paman saya, Bupati Terboyo, memiliki banyak jenis kuda di dalam istalnya yang luas. Selain seorang joki dan jago watangan, Paman Bupati juga sangat menggemari ilmu hayat. Beberapa kuda pacu berhasil disilangkan menjadi jenis baru yang juga masih merupakan kuda pacu. Saya ingat, saya baru berumur enam tahun saat bertanya kepada beliau, bisakah kita menyilangkan kuda dengan keledai? Beliau tertawa. Tentu bisa, kata beliau. Kita bisa menyilangkan kuda betina dengan keledai jantan. Tetapi menyilangkan kuda dengan keledai, hanya akan menghasilkan bagal, yang sudah tentu tak bisa dibawa berpacu.” “Tuan-tuan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sangat bersyukur, hari ini kuda pacu dan bagal sudah dikembalikan ke tempatnya masing-masing. Sesungguhnya, di alam bebas, mereka sangat sulit bercampur. Jadi, inilah dia Raden Saleh, si kuda pacu. Orang yang Anda kenal selama ini,” katanya sambil menunjuk dadanya sendiri dengan ibu jari. “Dan itu adalah Raden Salah,” perlahan-lahan ia menggerakkan ibu jarinya kepada pria yang berdiri di sebelahnya. Mata Basah Kolot menyala. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi Van Sprew dan para opas cepat menyeretnya ke kamar sebelah. Raden Saleh masih terpaku di depan. Tapi senyum lebar tampak menghias wajahnya. Apalagi saat ia menerima jabat tangan dari Residen dan semua pejabat yang ada di ruang itu “Istirahatlah, Raden,” Residen mengangguk. “Besok pagi kita pulang. Kamarmu akan kami bebaskan dari penjagaan malam ini.” Setelah Raden Saleh kembali ke kamarnya, Van Musschenbroek berdiri lega. Pinggangnya diputar ke kiri dan ke kanan beberapa kali. “Aih, encokku. Syukurlah semua berakhir baik. Aku benar-benar ingin mandi air panas sekarang,” serunya. Residen Hoogeven tersenyum, “Silakan. Tapi di Buitenzorg jangan lalai, Heer.” Van Musschenbroek tertegun, “Maaf, Tuan Residen? Lalai?” Kuda Pacu dan Bagal 23 “Ya,” Residen Hoogeven mengisap pipanya dalam-dalam, lalu mengeluarkan asapnya dalam bentuk bulatan-bulatan kecil. “Terus pasang matamu untuk si kuda pacu tadi.”*** Jakarta, Oktober 2009-Maret 2010 M. IKSAKA BANU Lahir di Yogya, 13 Oktober 1964. Menulis fiksi dan mendesain grafis. Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, bekerja di bidang advertising. Tiga tahun berturut-turut, cerpennya masuk ke dalam nominasi Anugerah Pena Kencana. Mengikuti Festival Bienal Sastra Internasional ”Traversing” di Salihara (2009). KURNIA EFFENDI Lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis fiksi dan bekerja di perusahaan otomotif. Alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Telah menerbitkan 11 buku, beberapa di antaranya: Kincir Api (2005), masuk lima besar Anugerah Khatulistiwa Literary Award, dan The Four Fingered Pianist (2008), memoar pianis berjari empat Hee Ah Lee dari Korea. Lenggang Ditulis oleh Irzen Hawer Senin, 25 Oktober 2010 00:00 Dari cara dia bicara, terlihat apa yang dibicarakannya seolah-olah amat penting. Sangat serius. Wajahnya dimajukan ke depan - ke arah lawan bicaranya. Padahal yang dibicarakannya sering soal remeh-temeh. Kalau hal-hal yang besar, dia jarang dibawa-bawa orang. Dia kebagian selalu masalah-masalah yang kecil. Kerut-kerut keningnya, gerinyit-gerinyit alisnya adalah ciri khasnya waktu bicara. Dan lawan bicaranya tidak pernah betah berhadapan dengan dia. Dia sangat membosankan. Dia suka memotong pembicaraan. Baru mulai lawan bicaranya ngomong langsung dipotongnya. Dia suka memonopoli pembicaraan. Padahal pendapatnya, analisanya, dugaannya terhadap persoalan yang sedang dibahas amatlah sangat dangkal. Dan lawan bicaranya tidak punya kesempatan membantah pernyataannya. Akibatnya ! Siapa yang terjerat dalam pembicaraannya, terimalah nasib. Amatlah sulit melepaskan diri. Dia bicara cepat – tegang – serius, menatap lekat-lekat mata lawan bicaranya. Umur 35 tahun dia belum punya istri. Belum bertemu jodoh yang sesuai. Lenggang sebetulnya adalah lelaki ideal untuk jadi seorang suami. Tampangnya tidak jelek betul. Badannya sedang dan berotot. Dia pekerja keras. Pagi-pagi sekali dia telah tiba di sawah. Sawah sepiring satu-satunya milik emaknya. Karena emaknya sudah tua, dialah yang menggarapnya. Kadang dia menanam padi, kadang dia menanam cabe. Tetapi karena sawah tersebut tidaklah begitu luas, hasilnya pun juga tidak seberapa. Kalau tidak musim ke sawah dia sering diajak bertukang, menjadi pekerja kasar, yaitu tukang aduk semen dan tukang angkat batu. Atau dia menerima upah di sawah atau di ladang orang, menyiangi sawah yang akan dibajak, memetak-metaki ladang cabe. Pokoknya Lenggang tidak pernah meletakkan tangannya di rumah. Ada-ada saja pekerjaannya. 1 / 13